Vonis Irasional Ala Hukum Kapital
Oleh: Kunthi Mandasari
Pegiat Literasi, Pemerhati Remaja
Lensamedianews.com— Drama panjang kasus penyiraman mantan penyidik senior KPK, Novel Baswedan akhirnya menemui babak akhir. Namun sayangnya, tuntutan yang diberikan jaksa kepada tersangka justru membuat masyarakat berang. Lantaran tuntutan satu tahun itu dirasa terlalu ringan. Tidak sebanding dengan kejahatan yang telah dilakukan.
Sebagaimana dilansir dari detiknews, 11/06/2020, jaksa membeberkan alasan di balik ringannya tuntutan bagi kedua tersangka. Dalam pertimbangan surat tuntutan yang dibacakan jaksa penuntut umum di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Jalan Gajah Mada, Gambir, Jakarta Pusat, Kamis (11/6/2020), jaksa menyebut kedua terdakwa tidak sengaja menyiramkan air keras ke bagian wajah Novel.
Jaksa menyebut dakwaan primer yang didakwakan dalam kasus ini tidak terbukti. Oleh karena itu, jaksa hanya menuntut kedua terdakwa dengan dakwaan subsider. Yaitu berupa pelanggaran Pasal 353 ayat 2 KUHP juncto Pasal 55 ayat 1 KUHP. Alasan selanjutnya kenapa jaksa memberikan tuntutan ringan karena terdakwa mengakui perbuatannya. Selain itu, kedua terdakwa telah meminta maaf kepada Novel dan keluarga.
Beragam komentar pun berdatangan. Salah satunya dari pengamat politik, yaitu Rocky Gerung. Bahkan beliau mengibaratkan air keras yang digunakan pelaku saat menyiramkan ke mata penyidik KPK Novel Baswedan adalah air keras kekuasaan. Untuk itu, ia meminta agar mata publik tidak buta dengan proses peradilannya.
Apalagi jaksa penuntut umum (JPU) dalam persidangan itu justru menuntut hukuman pidana penjara hanya satu tahun kepada kedua terdakwa. Tuntutan tersebut dirasa sangat irasional. Untuk itu, pihaknya menggalang gerakan dengan menamai sebagai ‘New KPK’ untuk menghalangi mata publik dibutakan oleh air keras kekuasaan.
Melihat penanganannya yang butuh waktu lama dan berbelit justru menimbulkan prasangka dalam masyarakat. Mengingat tuntutan satu tahun penjara dianggap terlalu ringan dibandingkan kejahatan yang serupa, dimana vonis hukumannya ada yang 8 hingga 20 tahun penjara (suara.com, 13/06/2020). Ketimpangan vonis hukum yang terjadi tak lepas dari oknum di balik layar peradilan.
Sebenarnya cerita ketimpangan hukum di alam demokrasi sudah lama terasa. Namun hanya terasa bagai angin lalu. Merasa tak ada yg bisa dilakukan karena kalah dengan mereka yang memiliki kekuatan lebih. Kalaupun terus dilakukan banding hasil yang diperoleh tak pernah sebanding. Sehingga memunculkan perasaan muak terhadap hukum yang selama ini berlaku.
Padahal jika kita melihat aturan Islam, keadilan selalu ditegakkan tanpa memandang bulu. Baik pelakunya miskin ataupun kaya. Memiliki kedudukan atau sebaliknya. Di mata hukum tak ada beda. Sanksi hukum dalam Islam berfungsi sebagai jawabir (penebus siksa akhirat) dan jawazir (pencegah terjadinya tindak kriminal yang baru).
Islam juga mewajibkan umatnya untuk menjaga lima pokok hukum Islam. Salah satunya menjaga jiwa. Penyiraman terhadap penyidik senior KPK merupakan tindakan yang tidak bisa dianggap sebelah mata. Karena efek yang ditimbulkan telah menghilangkan fungsi penglihatan.
Di dalam Islam ada hukum qishas, yaitu balasan yang setimpal. Nyawa dibalas dengan nyawa. Mata dibalas dengan mata. Namun ketika keluarga memaafkan ada penebusan dosa yang disebut dengan diyat. Ketika keluarga korban/korban memaafkan maka pelaku wajib membayar diyat. Untuk nyawa seorang manusia tebusannya seratus ekor unta. Maka pelaku wajib membayar seratus ekor unta. Begitu pula berlaku padahal yang lain.
Untuk kasus penglihatan, apabila kedua mata kehilangan fungsinya maka harus dibayar dengan seratus ekor unta. Apabila hanya satu mata maka hanya dibayar setengah. Begitulah syariat Islam telah menetapkan. Namun apakah mungkin hukum yang adil ini bisa diterapkan ketika peradilan yang digunakan masih berkiblat pada sistem yang fasad? Maka, hanya dengan penerapan Islam kafah saja keadilan bisa terwujud nyata. Wallahu a’lam bishshawab. [RA/LM]