Revisi UU Minerba Saat Wabah, Kepentingan Siapa?
Oleh : Ayu Ramadhani
(Aktivis The Great Muslimah Community)
LensaMediaNews – Di tengah Covid-19 yang sedang mewabah dengan jumlah pasien postif di Indonesia menembus angka 3.842 orang (kompas.tv/article, 11/4/20), DPR RI dikabarkan mengesahkan RUU Mineral dan Batu Bara (Minerba) No.4 Tahun 2009. (Kumparan.com, 5/4/20). Kabarnya langkah pembahasan yang lebih lanjut dilaksanakan secara virtual meeting menggunakan aplikasi Zoom dengan persoalan DIM (Draft Inventarisasi Masalah) pada 8 April yang lalu (kaltim.tribunnews.com/, 4/5/20). Tentu DPR RI menjadi sorotan, keputusannya menuai kecaman. Bagaimana tidak? Setelah publik mengecam program IKN yang sedang on track, dengan tuntutan fokus penanganan Covid-19, pemerintah tidak bergeming bahkan melanjutkan program baru yakni UU Minerba.
Sebelum UU No 4 Tahun 2009 tentang Minerba diberlakukan, skema pengelolaan pertambangan minerba ialah kontrak karya (KK). Pemberlakuan UU Minerba Tahun 2009 itu menandai terjadinya perubahan mendasar dalam tata kelola pertambangan. Perjanjian kontrak berakhir dan beralih ke Izin Usaha Pertambangan (IUP). Masalah baru muncul, peralihan dari kontrak ke izin pertambangan dalam realisasinya banyak korporasi tambang yang tetap menjalankan skema KK dengan dalih kontrak belum berakhir, ditambah adanya kelonggaran bagi pemegang kontrak untuk memperpanjang kontrak.
Pengesahan RUU Minerba nampak ‘kejar target’ dengan pengesahannya yang tidak pandang kondisi bahwa Indonesia sedang berduka. Hal ini ditambah jelas dengan fakta adanya 7 (tujuh) maskapai pertambangan batubara besar yang akan segera berakhir masa kontraknya (mediaindonesia.com, 11/12/19). Tujuh maskapai tersebut merupakan pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) generasi pertama dengan kapasitas produksi terbesar. Bak gayung bersambut, pengesahan UU Minerba yang tergesa-gesa dan terminasi tujuh maskapai pertambangan menambah kejelasan kepada siapa rezim hari ini berpihak.
Bukan hanya kedok perpanjangan kontrak, ternyata dalam pasal 165 di RUU Minerba, akan melindungi pejabat korupsi dengan menghilangkan pasal pidana bagi pejabat yang mengeluarkan izin bermasalah. Dalam pasal 115A, membuka peluang kriminalisasi terhadap warga penolak tambang. RUU Minerba juga akan memuat perubahan pasal 169 sebagai upaya pemutihan renegosiasi kontrak-kontrak Pemegang Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B). Tak hanya itu, dalam RUU ini juga terdapat peluang land banking, yang berujung penguasaan tanah oleh perusahaan tambang dalam skala besar setidaknya 8 tahun. Dengan begitu, jelas RUU Minerba merupakan produk yang dikhususkan untuk para korporasi tambang.
RUU Minerba hanya berpusat pada kepentingan elit korporasi dan abai terhadap masyarakat. UU hanya jadi dalih pentingnya peletakan hak bagi badan usaha yang sebenarnya ingin merampok kekayaan publik. Herannya negara selalu tak berdaya menghadapi ‘pesanan’ korporasi ini. Masa pandemi Covid-19 ini pun menjadi aji mumpung untuk melakukan pengesahaan RUU Minerba. Pasalnya berkurangnya perhatian publik karena disibukkan mengahadapi wabah. Jangankan untuk mengawal kinerja pemerintah, rakyat saat ini bahkan tak dapat mengawal kehidupannya dan keluarga. Kasus pandemi harusnya menjadi perhatian penuh, bahkan seharusnya anggaran untuk program lain dapat dialokasikan untuk penanganan virus yang berpotensi menjadikan Indonesia sebagai episentris baru wabah yang mendunia ini.
Beginilah wajah sistem Kapitalis-Sekular yang membawa kehinaan pada pengembannya. Alih-alih mengabdi pada rakyat, sistem ini akan menghasilkan kebijakan yang berpihak pada pemilik modal. Bahkan di tengah wabah pun mereka masih opurtunis untuk meraup keuntungan dari pengesahaan RUU Minerba.
Sungguh berbalik dan tak dapat dibandingkan dengan sistem Islam yang memuliakan manusia. Negara yang dipimpin oleh Khalifah memang harus pasang badan dan banting tulang untuk me-ri’ayah umat. Dalam Islam, kekayaan publik seperti pertambangan tidak boleh diserahkan kepada pihak swasta. Negara akan mengambil alih dalam pengelolaannya dan menjamin pendistribusiannya. Negara akan menerapkan sistem yang memudahkan rakyat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan tidak akan membiarkan pihak swasta maupun asing mencari jalan untuk menguasai hajat hidup rakyatnya. Hal ini, merupakan bukti dari keperkasaan Negara yang dimana aturannya bersumber dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah, bukan dari lemahnya akal yang hanya berfikir eksistensinya dan menjadikan UU sebagai dinding kekayaannya.
Wallahu’alam bish showab.
[hw/LM]