Memperjuangkan Khilafah, Pembuktian Tertinggi Cinta Nabi
Oleh: Sofiyah Manaf
LensaMediaNews— Tanggal 12 Rabiul awal dan bahkan sejak tanggal 1 hingga akhir bulan nanti, di mana-mana ramai perayaan Maulidur Rasul. Hari bergembira umat Islam terhadap hadirnya sosok manusia mulia pembawa risalah Allah swt.
Di Kalsel, apalagi di daerah Banua Anam, hampir setiap rumah mengadakan tasyakuran dalam rangka Maulid Rasul ini. Sampai-sampai berebut tamu. Dulu-duluan mengundang karena seringkali mengadakannya berbarengan. Lambat mengundang bisa tidak kebagian tamu. Masya Allah.
Untuk konsumsi tak tanggung-tanggung, mereka mepersembahkan yang terbaik. Ada yang menabung, arisan atau urunan (gotong royong) beberapa orang untuk bisa menyembelih sapi. Di daerah lain pun pastinya punya ekspresi kecintaan masing-masing di bulan Maulid Rasul ini. Intinya semua dilakukan demi menunjukan kecintaan pada Sang Nabi.
Mengapa Semua Berlomba Cinta Nabi?
Bagi muslim, cinta Nabi adalah kebutuhan. Sebab Allah mewajibkannya sebagai konsekuensi iman. Sekaligus menjadi tiket masuk ke dalam Surga. Sebagaimana sabda Rasul Saw, “Tidak sempurna iman salah seorang dari kalian sampai aku lebih dia cintai daripada anaknya, orangtuanya dan seluruh manusia. (HR al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Ibnu Majah, an-Nasai, al-Baihaqi, al-Hakim dan Ibnu Hibban).
Selain itu besarnya cinta pada Nabi juga merupakan pencegah dari kemurkaan Allah. Sebab Allah juga telah memberikan ancaman bagi yang tidak meletakkan cinta pada-Nya dan Rasul-Nya di atas cinta yang lainnya.
“Katakanlah, “Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-istrimu, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perdagangan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya serta berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah memberikan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasiq.”” (QS. At-Taubah: 24).
Realisasi Cinta
Menurut para ulama, cinta hamba pada Allah dan Rasul-Nya tidak lain adalah ketaatan. Salah satunya, Al-Zujaj. Menurut beliau, cinta pada keduanya adalah menaati keduanya dan ridha pada segala perintah Allah dan segala apa yang dibawa Rasulullah Saw. (Syekh Taqiyyudin An-Nabhani, Pilar-pilar Pengokoh Syaksiyah Islamiyah, 2004: 36). Hal ini tidak bertentangan dengan firman Allah yang juga menjadikan ittiba (mengikuti) sebagai bukti cinta.
“Katakanlah (wahai Muhammad kepada umatmu): Jika kalian benar-benar mencintai Allah, maka ikutilah aku (Muhammad), niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa kalian“. (QS. Alu Imron: 31).
Karenanya cinta pada Nabi tak cukup hanya di lisan dan sekadar perayaan. Menjadi tanda tanya besar, jika mengaku cinta tapi tak mau mengikuti yang dibawa Nabi. Salah satunya adalah untuk selalu berpegang teguh pada Alquran dan sunah-Nya. Dan harus kita sadari bahwa berpegang teguh pada keduanya mustahil terlaksana tanpa diadopsinya syariat Islam dalam sebuah sistem pemerintahan. Khilafah ala minhaj nubuwwah.
Hal demikian telah disebutkan juga oleh ulama besar Nusantara, Syekh H. Sulaiman Rasjid. Dalam kitab Fiqh Islam karya beliau yang sangat fenomenal di Indonesia. Tepatnya dalam Bab Al-Khilafah di halaman 466, beliau menyampaikan bahwa tidak mungkin menyempurnakan kewajiban seperti pembelaan agama, menjaga keamanan dan sebagainya kecuali dengan tegaknya Khilafah.
Demikianlah sehingga sangat wajar jika para sahabat dan para ulama bersepakat bahwa menegakkan khilafah adalah kewajiban paling utama. Sebab tanpanya, ketaatan yang sempurna tak akan terwujud. Sementara, (sekali lagi) ketaatan adalah pembuktian cinta. Maka telah jelaslah bahwa pembuktian tertinggi cinta Nabi tidak lain adalah berjuang menegakkan kembali Khilafah ala minhaj nubuwwah.
Sebaliknya siapapun yang mengaku cinta Nabi meski hingga mulutnya berbusa-busa atau juga merayakan maulid dengan dana berjuta-juta. Tapi ia enggan turut dalam penegakan kembali khilafah. Apalagi menolak dan memusuhi orang yang memperjuangkannya. Sungguh cintanya hanyalah dusta belaka. Allahu a’lam bish shawwab. [Lm/Hw/WuD]