Pajak Beban Rakyat, Islam Solusi Tepat
Oleh: Muflihatul Chusnia
LenSa Media News _ Opini _Disaat daya perekonomian masyarakat semakin melemah, kondisi hidup bertambah parah, cari nafkah susah, pemerintah malah memberi hadiah.
Baru-baru ini Mentri Keuangan Sri Mulyani Indrawati akan menaikkan tarif PPN sebanyak 12%, yang tertulis di Undang – Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UUHPP) pada bulan Januari 2025. Kebijakan tersebut disampaikan saat rapat kerja dengan anggota DPR di komisi XI. Dikutip dari CNBC, hari Senin tanggal 25 November 2024.
Spontan kebijakan tersebut memicu reaksi dari banyak pihak, seperti pedagang dan konsumen, juga pakar ekonomi. Karena kebijakan ini justru akan menambah beban baru bagi masyarakat. Dan semakin memperparah kondisi terutama kelas menengah kebawah.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia mengatakan. Dampaknya besar sekali. Karena kenaikan 1% itu akan dirasakan oleh konsumen. Apalagi FMCG (fast moving consumer goods) pangan itu price sensitive,” katanya kepada CNBC Indonesia, Senin (25-11-2024).
Meskipun pemerintah mengatakan kenaikan PPN ini hanya untuk barang dan jasa yang premium. Namun apakah benar jika kenaikan PPN tersebut tidak akan mempengaruhi rakyat kecil?
Kenaikan pajak pada PPN itu tetap akan berpengaruh pada rakyat kecil. Karena nantinya para pengusaha pasti akan menaikkan harga barang yang diproduksinya. Konsumennya dari rakyat kecil, jadi imbasnya tetap rakyat yang jadi korban.
Dalam sistem kapitalis pajak merupakan denyut nadi sebuah negara. Karena pajak termasuk salah satu sumber penghasilan negara yang terbesar untuk menstabilkan APBN. Juga untuk menjaga perekonomian dan pengeluaran negara. Cara yang paling mudah untuk mendapatkan dana agar tidak devisit. Jadi wajar jika pemerintah sangat gigih dan disiplin dalam pengaturan wajib pajak.
Dalam sistem kapitalis sekuler akan mengandalkan sektor perindustrian, perdagangan dan perekonomian untuk mendapatkan keuntungan. Makanya pajak di bebankan pada rakyatnya. Karena pajak yang menjadi andalan sumber pendapatan negara. Tanpa peduli dengan kondisi rakyatnya. Padahal sumber daya alam yang dimiliki oleh negara jika dikelola dengan baik maka akan sangat membantu perkembangan ekonomi negara. Dan mampu untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya.
Sangat berbeda dengan sistem Islam. Pajak tidak ada dalam aturan Islam, kalaupun ada itu hanya untuk orang-orang kaya saja. Itupun jika Baitul mal kosong. Artinya pajak tersebut bersifat insidental. Jadi pajak itu berlaku ketika hanya ada masalah saja. Jika masalahnya selesai maka pajak pun dihentikan. Sehingga pajak dalam Islam tidak bersifat zalim. Dan pajak dalam Islam tidak dijadikan sumber pendapatan negara.
Syekh Atha’ Abu Rusytah mengatakan pajak berlaku ketika ada dua syarat yaitu, pertama, diwajibkan atas Baitul mal dan kaum muslim, tentu harus sesuai dengan dalil shohih. Kedua, Baitul kosong. Kondisi seperti ini Islam boleh mengambil pajak untuk memenuhi kebutuhan tanpa ada tambahan.
Jadi sudah sangat jelas perbedaan konsep pajak dalam sistem kapitalis sekuler dengan sistem Islam. Dan Allah sudah memberi peringatan kepada pelaku atau pembuat aturan kedzaliman, namun masih belum membuat mereka takut.
Rasulullah Saw bersabda, “Yaa Allah, siapa saja yang menangani urusan umatku lalu ia menyusahkan mereka, maka susahkanlah ia, siapa saja yang menangani urusan umatku, lalu ia berlaku lembut pada mereka, maka berlaku lembutlah kepada ia” (H.R.Muslim dan Ahmad).
Maka dari itu kita sebagai muslim, apakah akan membiarkan kezaliman ini terus terjadi?
Mari bersama-sama menghilangkan berbagai kezaliman dengan amar ma’ruf nahi mungkar, terus berupaya mendakwahkan Islam, agar Islam bisa diterapkan ditengah-tengah masyarakat sampai ke seluruh penjuru dunia. Karena hanya dengan penerapan syariat Islam secara keseluruhan kita akan terhindar dari segala bentuk kezaliman.
Wallahu ‘alam bishowab.
(LM/SN)