Pajak Naik, Buat Hidup Makin Amburadul

20250108_160852

Oleh: Lilik

Komunitas Setajam Pena

LenSa Media News.com, Santer terdengar kenaikan PPN (Pajak Pertambahan Nilai) yang dicanangkan pemerintah di awal tahun 2025 menjadi kado pahit bagi sebagian besar masyarakat Indonesia.

 

Bagaimana tidak? Kenaikan tarif tersebut semakin menambah beban rakyat. Jika pajak benar-benar naik maka seluruh harga komoditas termasuk sembako pun akan terkena imbasnya. Meskipun kenaikan PPN ini diklaim hanya untuk barang-barang mewah saja.

 

Penolakan masyarakat terhadap kenaikan PNN jadi 12 persen ini  semakin meningkat. Terhitung 197.753 orang telah menandatangani petisi menolak kenaikan PNN menjadi 12 persen (CNNindonesia.com,  28-12-2024).

 

Inisiator petisi bareng warga, menyatakan kenaikan PPN akan memperparah kondisi dan kesulitan masyarakat ditengah impitan ekonomi yang semakin amburadul. Sebab, kebijakan tersebut diberlakukan di tengah kondisi, dimana harga komoditas terutama sembako mengalami kenaikan secara terus menerus dan signifikan.

 

Dilansir dari Badan Pusat Statistik (BPS), angka pengangguran menyentuh di kisaran 4,91 juta orang. Kemudian dari 144,64 juta orang yang bekerja, hanya saja sebagian besar atau 57,94 persen bekerja di sektor konvensional. Jumlahnya pun mencapai 83,83 juta orang.

 

Ciri sistem Kapitalisme, pajak menjadi bagian dari kebijakan finansial. Kebijakan ini juga di gadang-gadang mampu membantu negara mencapai substansial dalam hal ekonomi, untuk menyesuaikan antara pengeluaran dan pemasukan negara yang diterima dari pajak.

 

Cara mudah mendapatkan dana secara fresh guna menutupi kekurangan anggaran negara serta membantu melunasi utang yang banyak, yakni dengan menjadikan pajak sebagai jalan keluar menyelamatkan keuangan negara.

 

Di sistem ini pula, pajak menjadi sumber pendapatan tetap bagi negara. Alhasil negara dengan getol mendorong rakyat untuk taat membayar pajak,  termasuk kebutuhan pokok rakyat pun tak lepas dari pungutan pajak, yang seharusnya dalam  jaminan negara.

 

Berbeda ketika Islam hadir, pajak tidak akan diambil dari masyarakat terus menerus seperti dalam sistem Kapitalisme,  dimana barang-barang, rumah, kendaraan, makanan dan lain-lain dikenai pajak.

 

Nabi Saw ketika mengatur berbagai problema umatnya, tak ada satu riwayat pun menceritakan  beliau  memungut pajak atas masyarakat secara terus-menerus.  Ketika beliau mengetaui bahwa ada orang di perbatasan Daulah mengambil pajak atas komoditas yang masuk ke negeri, beliau justru melarangnya. Dari Uqbah bin ‘Amir bahwa ia telah mendengar Rasulullah Saw. bersabda. “Tidak masuk surga pemungut cukai.” (HR Ahmad dan dishahihkan oleh Al-Hakim).

 

Dalam Islam, pajak bukanlah sumber penghasilan negara yang utama, apalagi dijadikan urat nadi ekonomi negara. Sumber pendapatan negara yang disyariatkan terdiri dari harta kepemilikan umum (pertambangan), zakat, sedekah, ghanimah, kharaj, harta yang tidak ada ahli warisnya dan lainnya.

 

Setelah Rasul wafat, Daulah Khilafah diberi wewenang untuk mengambil pajak  (dharibah) yang hanya bersifat sementara.  Juga dikhususkan bagi kaum muslim yang kaya ( aghniya), karena ad kedaruratan negara  menunaikan berbagai kepentingan yang menjadi hajat umat dikarenakan Baitulmal  mengalami kekurangan (defisit).

 

Inilah cara Islam dengan menetapkan sistem ekonomi yang memudahkan urusan rakyat. Tidak membebani apalagi mencekik rakyat. Wallahualam bissawab. [ LM/ry ].

Please follow and like us:

Tentang Penulis