PPN Naik, Kesejahteraan Rakyat Makin Menukik

Pajakkk_20250108_190020_0000

Oleh: Denok Pramita

 

LenSaMediaNews.com__Badai protes regulasi kenaikan PPN menjadi 12% terus bergulir. Mulai dari cuitan-cuitan media sosial, hingga petisi yang sudah ditandatangani lebih dari 113 ribu orang pun belum membuahkan hasil pada pencabutan kebijakan kenaikan tersebut (beritasatu.com, 20-12-24). Bahkan tinggal menunggu hari, kenaikan PPN akan diberlakukan.

 

Di sisi lain, pemerintah berdalih bahwa hanya beberapa barang yang terkena pajak PPN. Selain itu, pemerintah juga menyiapkan berbagai bantuan untuk mengurangi beban masyarakat, seperti pemberian bantuan pangan, diskon tarif listrik, pembebasan pajak penghasilan selama satu tahun untuk buruh di sektor pakaian, tekstil, alas kaki, dan furnitur, serta pembebasan PPN untuk pembelian rumah tertentu.

 

Pemerintah pun menyatakan keoptimisan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2 persen akan tetap terjaga dan terlaksana pada 2025. Sementara itu, masyarakat dan pelaku usaha diimbau untuk tidak khawatir secara berlebihan terhadap kenaikan PPN jadi 12 persen, karena kondisi ekonomi Indonesia saat ini relatif stabil dengan inflasi yang rendah dan prospek pertumbuhan yang positif (beritasatu.com, 16-12-24).

 

Melihat protes yang begitu masif tetapi pemerintah yang seolah-olah abai ini, semakin menunjukkan bahwa bukan suara rakyat yang menjadi kedaulatan, akan tetapi hanya kepentingan semata. Mengejar target pemerintah dengan membebani rakyat yang sudah lama terimpit dengan kehidupan yang semakin sulit.

 

Sistem demokrasi yang sudah berlangsung sekian lama dan menjunjung tinggi slogan “dari rakyat, untuk rakyat, oleh rakyat”, terbukti tidak mampu menyejahterakan masyarakat, bahkan semakin terbukti telah menzalimi rakyat. Lalu suara rakyat mana yang didengar?

 

Lebih lagi, ini adalah contoh kebijakan penguasa yang populis otoriter. Pemerintah merasa cukup hanya dengan memberikan bansos, subsidi listrik dan menetapkan barang-barang tertentu yang terkena PPN. Padahal kebijakan tersebut tetap membawa penderitaan pada rakyat. Lalu, apakah kita masih percaya dengan penguasa saat ini?

 

Sistem demokrasi memang menjadikan kedaulatan di tangan manusia. Segala kebijakan yang digelontorkan dibuat oleh manusia dengan kepentingannya masing-masing. Terlebih lagi, bagi si pembuat kebijakan yang katanya “mewakili” suara rakyat, acap kali “mengkhianati” kepentingan rakyat. Lalu apakah kita masih mau berharap dengan sistem buatan manusia ini?

 

Sebaliknya, Allah, sebagai penciptanya manusia yang pasti paham tabiat manusia, telah menurunkan aturan yang komprehensif mengatur kehidupan manusia. Inilah Allah yang tidak hanya berperan sebagai Al-Khaliq (Maha Pencipta), namun juga sekaligus Al-mudabbir (Maha Pengatur). Layaknya mesin yang mempunyai SOP, manusia pun dibekali SOP agar kehidupan manusia dapat berjalan dengan baik.

 

Maka, inilah yang terjadi jika manusia diberi hak untuk mengatur kehidupannya sendiri. Kehidupan menjadi kacau, ruwet dengan berbagai kerusakan dan bencana. Allâh Swt. berfirman: “Telah nampak kerusakan di darat dan di lautan akibat perbuatan tangan manusia, supaya Allâh merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (TQS. ar-Rûm/30: 41) 

 

Maka, dalam Islam, manusia diatur di ranah akidah, ibadah, muamalah, uqubat, sampai pada bagaimana mengatur sebuah negara. Islam menjadikan penguasa sebagai raa’in dan junnah. Islam menentukan bagaimana profil penguasa dan juga mengatur bagaimana hubungan penguasa dengan rakyatnya.

 

Penguasa dalam Islam wajib mengurus rakyat dan mewujudkan kesejahteraan individu per individu. Islam mewajibkan penguasa membuat kebijakan yang tidak menyulitkan rakyatnya. Karena itu, saatnya umat saat ini sadar dan kembali pada aturan yang Allah buat tanpa tapi, tanpa nanti. Wallahu a’lam bishawab. [LM/Ss] 

Please follow and like us:

Tentang Penulis