Meneladani Kepemimpinan Rasulullah
Oleh: El Nuha
Lensamedianews.com__ Para ibu muslimah tampak menghadiri pengajian yang diselenggarakan oleh MT Mustami’ (Majelis Taklim Muslimah Pecinta Majelis Ilmu) pada Ahad, 22 Desember 2024. Tema pada pagi hari ini adalah Meneladani Kepemimpinan Rasulullah (Tadabbur QS An-Nisa: 59)
Ustadzah Unung A. Kurniati, S.S., mengawali kajian dengan menyampaikan QS Al-Ahzab ayat 21 yang artinya: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.“
Kemudian dilanjutkan dengan mentadabburi QS An-Nisa ayat 59 yang artinya: Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nabi Muhammad) serta ululamri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunahnya) jika kamu beriman kepada Allah dan hari Akhir. Yang demikian itu lebih baik (bagimu) dan lebih bagus akibatnya (di dunia dan di akhirat).
Imam Asy-Syaukani berkata ketika menafsirkan QS An-Nisa: 59,
“Ulul amri adalah para imam, para sultan, para qadhi, dan setiap orang yang memiliki kekuasaan syar’i, bukan kekuasaan bangsa taghut.” (Fathul Qadir, Asy-Syaukani, 1/556).
Menurut Ibnu Abbas,
“ululamri” (اُولِى الْاَمْرِ) ) dalam QS An-Nisa: 59 ialah al-umara’ wa al-wullat (para penguasa) karena ayat tersebut turun berkaitan dengan kewajiban menaati penguasa. (Asy-Syaukani, Nailu al-Authar fi Syarh Muntaqa al-Akhbar).
Oleh karenanya, ayat tersebut memerintahkan kaum muslim agar menaati penguasa. Namun, siapakah dan apakah ciri-ciri penguasa yang dimaksudkan dalam ayat tersebut?
Berdasarkan lafaz “min kum” (dari kalangan kalian), maksudnya adalah ulul amri dari kalangan kaum muslim secara keseluruhannya. Menurut Islam, wajib ada hanya seorang kepala negara bagi seluruh kaum muslim dalam satu masa.
Imam Ibnu Katsir menjelaskan bahwa makna athii’ullah (taatlah kepada Allah) adalah ikutilah Kitab-Nya. Wa-athii’ur-Rasul (taatlah kepada Rasul) bermakna berpegang teguhlah pada sunah Rasul. Wa ulul amri min-kum (dan ululamri di antara kalian) bermakna apa saja yang mereka perintahkan kepada kalian, selama dalam rangka taat kepada Allah, bukan dalam maksiat kepada-Nya.
Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam maksiat kepada Allah. Disebutkan dalam hadis sahih, “Ketaatan itu hanya berlaku dalam hal yang makruf.” (HR Bukhari).
Imam Ash-Shabuni dalam tafsirnya, Shafwatut Tafasir, menjelaskan bahwa taat pada Allah dan taat pada Rasul-Nya dengan berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Sunah, serta taat kepada hukkaam (penguasa) apabila mereka dari kalangan muslim dan berpegang teguh pada syariat Allah. Ini karena tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam rangka bermaksiat kepada Allah.
Al-Baghawiy dalam tafsirnya, Ma’ālimut Tanzīl, terkait penafsiran ayat ini, menukil sebuah atsar bahwa Ali bin Abi Thalib ra. berkata, “Hak yang wajib ditunaikan oleh seorang pemimpin adalah memutuskan perkara (berhukum) dengan apa yang Allah turunkan (Al-Qur’an dan Sunah) dan menjalankan amanah. Jika pemimpin telah melakukan hal itu, maka hak yang wajib ditunaikan oleh rakyat adalah mendengar dan taat.” (Tafsir Al-Baghawiy, Surah An-Nisa: 59; Al-Musannaf fil-Ahadis wal-Atsar).
Dari pemaparan tersebut, telah sangat jelas bahwa :
1. Perintah untuk taat kepada Allah Swt dan Rasulullah, yakni tunduk dan patuh terhadap segala ketentuan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah (Kedaulatan di tangan Syara)
2. Wajib mengangkat pemimpin yang mengatur urusan kaum muslimin.
3. Ketaatan kepada ulul amri menurut Islam berlaku selagi ulul amri menaati Allah dan Rasul-Nya, memerintah dengan Islam, dan tidak memerintahkan kepada kemaksiatan.
4. Kewajiban taat pada ulul amri adalah terbatas untuk kepala negara atau penguasa muslim yang menerapkan hukum Islam secara keseluruhan, bukan pada penguasa yang menerapkan hukum selain Islam.
5. Setiap perselisihan yang terjadi wajib dikembalikan kepada Syariah.
Pemerintah dan kepemimpinan adalah perkara penting dan genting.
“Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang kalian mencintai mereka dan mereka pun mencintai kalian. Mereka mendo’akan kalian dan kalian pun mendo’akan mereka. Sejelek-jelek pemimpin kalian adalah yang kalian membenci mereka dan mereka pun membenci kalian, juga kalian melaknat mereka dan mereka pun melaknat kalian.” Kemudian ada yang berkata, ”Wahai Rasulullah, tidakkah kita menentang mereka dengan pedang?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak, selama mereka masih mendirikan shalat di tengah-tengah kalian. Jika kalian melihat dari pemimpin kalian sesuatu yang kalian benci, maka bencilah amalannya dan janganlah melepas ketaatan kepadanya.” (HR Muslim no. 1855)
Syara’ menentukan tanggung jawab umum (Mas’uliyah Ammah) seorang pemimpin
Dalam kitab Syakhsiyyah jiid 2 karya Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dijelaskan tangggung jawab umum seorang pemimpin dibagi ke dalam:
1. Karakter yang melekat pada dirinya (profil) yaitu kuat, bertakwa, lemah lembut/welas asih.
2. Hubungan dengan rakyat yaitu:
Asy-Syâri’ telah memerintahkannya agar senantiasa memperhatikan rakyatnya memberinya nasihat, memperingatkannya agar tidak menyentuh sedikit pun harta kekayaan milik umum, dan mewajibkannya agar memerintah rakyat dengan Islam saja tanpa yang lain.
(Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Syakhshiyah Al-Islamiyah juz 2, hal 161)
2.1 Melingkupi rakyat dengan nasihat
Artinya: “Tidak seorang hamba pun yang diberi kekuasaan oleh Allah untuk memimpin rakyat, lalu dia tidak memperhatikan mereka dengan nasehat, kecuali dia tidak akan mendapatkan bau surga.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhâri, no 6617)
2.2 Tidak menyentuh harta milik umum
Diriwayatkan dari Abu Hamid Al-Sa’idi, bahwa Nabi saw. menugaskan Ibnu Lutaibah untuk mengurusi zakat Bani Sulaim. Ketika dia sampai kepada Rasulullah saw. dan membuat perhitungan dengan beliau, dia berkata: “Yang ini milikmu, dan yang ini hadiah yang dihadiahkan kepadaku.” Maka, Rasulullah saw. berkata: “Kenapa kamu tidak duduk saja di rumah ayahmu dan rumah ibumu, sampai datang kepadamu hadiahmu, jika kamu benar?”
Lalu Rasulullah saw. berdiri dan berbicara kepada orang-orang.Beliau bersyukur kepada Allah dan memuji-Nya, lalu berkata, “Amma ba’du. Sesungguhnya aku menugaskan beberapa orang laki-laki di antara kalian untuk mengurusi hal-hal yang dikuasakan kepadaku oleh Allah. Lalu salah seorang dari kalian datang dan berkata: ‘Kenapa dia tidak duduk saja di rumah ayah dan ibunya, sampai datang kepadanya hadiah, jika dia benar? Demi Allah, tidak seseorang pun dari kalian mengambil sesuatu yang bukan haknya, kecuali dia akan menanggungnya pada hari kiamat.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhâri ).
Hadits ancaman kepada penguasa zalim dan menipu rakyat yang artinya: Shahih Bukhari 6618: “Telah menceritakan kepada kami [Ishaq bin Manshur] Telah mengabarkan kepada kami [Husain Al Ju’fi], [Zaidah] mengatakan, bahwa ia menyebutkannya dari [Hisyam] dari [Al Hasan] mengatakan, kami mendatangi Ma’qil bin Yasar, lantas Ubaidullah menemui kami, lantas Ma’qil berujar kepadanya: Saya ceritakan hadist kepadamu yang aku mendengarnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Tidaklah seorang pemimpin memimpin masyarakat muslimin, lantas dia meninggal dalam keadaan menipu mereka, selain Allah mengharamkan surga baginya.”
Wajib memerintah dengan Islam
1. Asy-Syâri’ mewajibkannya untuk memerintah dengan Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya, dan memberikan kepadanya hak untuk berijtihad dalam keduanya, serta melarangnya untuk melirik kepada selain Islam atau mengambil sesuatu pun dari selain Islam.
2. Pembatasan hukum dengan Al-Qurân dan Sunnah tampak jelas dari ayat-ayat Al- Qurân, “Barang siapa tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah,maka mereka adalah orang-orang kafir.” (QS Al-Mâidah [5]: 44)
“Barang siapa tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang fasik.” (QS Al-Maidah [5]: 45)
“Barang siapa tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah,maka mereka adalah orang-orang zalim.” (QS Al-Maidah [5]: 47)
Yang diturunkan Allah adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah
Potret Kepemimpinan Islam
Beberapa fakta sejarah pada masa rasulullah dan khulafa pemimpin menjalankan fungsi riayah dan junnah:
1. Rasulullah Saw. menyediakan pendidikan untuk kaum Muslim dan memberikan gaji yang layak untuk para pengajar.
2. Hanya dalam 10 tahun masa pemerintahan Umar bin Al-Khaththab, kesejahteraan merata ke segenap penjuru negeri. Pada masanya, di Yaman, Muadz bin Jabal sampai kesulitan menemukan seorang miskin yang layak diberi zakat (Abu Ubaid, Al-Amwâl, hlm. 596)
Umar pun mampu menggaji guru di Madinah masing-masing 15 dinar (1 dinar = 4,25 gr emas). (Ash-Shinnawi, 2006).
Potret kepemimpinan Islam pada masa Rasulullah dan Khalifah dalam menjalankan fungsi riayah dan junnah di antaranya:
1. Khalifah al-Mu’tasim Billah ketika mendengar ada seorang perempuan yang dilecehkan oleh panglima tentara Romawi hingga tersingkap auratnya, segera memimpin dan mengerahkan pasukannya yang panjang demi membela perempuan tadi.
2. Khalifah al-Muntahsir Billah mendirikan Madrasah al-Muntashiriah di Baghdad. Di sekolah ini setiap siswa menerima beasiswa berupa emas seharga 1 dinar (4,25 gram emas), kehidupan keseharian mereka dijamin sepenuhnya oleh negara, fasilitas sekolah disediakan seperti perpustakaan beserta isinya, rumah sakit dan pemandian.
Dari paparan yang sudah disampaikan oleh Ustadzah Unung dapat disimpulkan bahwa sosok pemimpin islami hanya lahir dari rahim sistem kepemimpinan Islam yaitu Khilafah.
Adapun cara Islam mewujudkan kepemimpinan umat:
•Sistem Pendidikan Islam yang menyiapkan aqliyah-nafsiyah Islam (Syakhshiyah Qiyadiyah)
•Parpol dan jamaah dakwah membina kader terbaik untuk memiliki pengalaman politik
•Khilafah melahirkan banyak kader negarawan.
Wallahu a’lam bishshawab