Tren Childfree: Mengantarkan pada Kepunahan Manusia


Oleh : Nabila Fadel

 

 

Lensamedianews__ Berdasarkan Oxford Dictionary, istilah childfree merupakan suatu kondisi seseorang atau pasangan yang tidak memiliki anak karena alasan yang utama, yaitu pilihan. Begitu pula menurut Cambridge Dictionary pun mendefinisikan istilah childfree hampir serupa seperti yang dijelaskan oleh Oxford Dictionary, yaitu kondisi seseorang atau pasangan yang memilih untuk tidak memiliki anak. Fenomena childfree tidak hanya melanda negara-negara barat tapi juga merambah ke Indonesia. BPS mencatat berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) 2022, sekitar 8,2% perempuan Indonesia usia 15 hingga 49 tahun memilih childfree atau tidak memiliki anak. Artinya, sekitar 71 ribu perempuan dalam kelompok ini tidak menginginkan anak.

 

 

Meski prevalensi perempuan yang memilih untuk childfree di Indonesia terbilang masih kecil dibanding negara-negara Barat, namun selama 4 tahun terakhir, cenderung meningkat dan diprediksi akan terus naik pada tahun-tahun yang akan datang. Terutama di wilayah urban seperti Jawa Barat dan Jakarta yang trennya semakin naik dari 8,8% pada 2019 menjadi 14,3% pada 2022. Di Jawa Barat juga terdeteksi lonjakan dari 7,8% pada 2019 menjadi 11,3%. Walaupun Indonesia belum mengalami penurunan jumlah penduduk ( depopulasi) seperti halnya negara-negara Barat, namun tidak menutup kemungkinan akan terjadi hal yang sama di masa yang akan datang. Sebab BPS mencatat, angka kelahiran bayi tiap tahunnya menunjukkan tren penurunan yang cukup drastis, yakni dari 2,6 pada 2010 menjadi 2,18 pada 2020. Jika hal ini dibiarkan, Indonesia bisa mengalami penurunan jumlah penduduk.

 

 

Negara-negara Barat, China, Jepang dan Korea sedang kewalahan mengalami depopulasi. Salah satu dampaknya adalah kurangnya tenaga kerja, sehingga beban ekonomi negara bertambah. Lebih jauh, depopulasi akan berdampak pada kejatuhan suatu negara, bahkan menyebabkan kepunahan terhadap populasi manusia. Pernyataan ini bisa dikonfirmasi pada hasil penelitian seorang antropolog dan sejarawan Prancis Emmanuel Todd dalam bukunya La Chute Finale 1976. Pada saat itu ia memprediksi negara adidaya Uni Soviet akan runtuh dilihat dari angka kematian bayi yang terus meningkat. Terbaru dalam bukunya La Défaite de l’Occident (2023), Todd pun memprediksi kejatuhan negara-negara Eropa dan Amerika Serikat dilihat dari persoalan demografi. Merebaknya childfree dan L68T di negara-negara Barat, menjadikan prediksi Todd sangat mungkin terwujud kembali.

 

 

Dampak buruk childfree telah tampak jelas, namun pemerintah malah terkesan abai terhadap fenomena childfree ini. Tidak ada upaya yang serius untuk membendung pemikiran childfree ini. Sebaliknya BKKBN justru semakin menggencarkan program KB (Keluarga Berencana dengan dua anak cukup) yang terkesan membatasi jumlah anak, bukan menyemangati keluarga untuk memiliki buah hati yang berkualitas. Bahkan pemerintah terlihat mendukung dengan membenarkan kampanye Komnas Perempuan bahwa childfree merupakan bagian dari HAM yang harus dihormati.

 

 

Banyak faktor yang menyebabkan maraknya tren childfree.

Pertama, ketakutan terhadap masa depan. Beban kehidupan yang sangat berat menjadikan banyak individu memilih untuk tidak memiliki anak, baik itu dengan tidak menikah ataupun menikah. Hidup tanpa anak saja sudah dirasa sangat sulit apalagi ditambah memiliki anak. Logika ini makin merasuk pada pemikiran masyarakat terutama pada kawula muda.

Kedua, para perempuan merasa memiliki hak reproduksi yaitu mereka bebas memilih apakah mau melahirkan atau tidak.

Ketiga, persoalan ekonomi. Kemiskinan yang menjadikan banyak perempuan berpikir ulang untuk menikah dan memiliki anak. Sebab biaya kebutuhan hidup semakin naik, di satu sisi pendapatan kian berkurang. Perempuan merasa tidak boleh bergantung pada laki-laki agar bisa disebut wanita mandiri yang produktif.

 

 

Ketiga penyebab di atas sebenarnya merupakan dampak dari penerapan sistem kehidupan sekuler kapitalisme di negeri ini. Sekularisme adalah pemahaman yang menyingkirkan agama dari kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Inilah yang menyebabkan masyarakat tidak menjadikan agama sebagai pedoman hidupnya. Sehingga segala sesuatu yang dipahami, dilakukan, diinginkan dan yang membuatnya bahagia justru tidak selaras dengan syariat.

 

 

Misalnya konsep rezeki, masyarakat sekuler tidak memahami bahwa rezeki itu di tangan Allah SWT dan setiap anak membawa rezekinya masing-masing. Tidak heran, childfree menjadi pilihan di tengah kehidupan yang serba terhimpit ini. Begitu pun hakikat penciptaan, masyarakat sekuler tidak memahami bahwa tujuan penciptaan manusia adalah beribadah kepada Allah SWT. Mereka terjebak dengan kehidupan materialistis yang menjadikan kepuasan fisik dan materi sebagai tujuan amalnya.

 

 

Sekularisme juga melahirkan liberalisme yakni berupa kebebasan bertingkah laku. Mereka merasa bebas melakukan segala sesuatu yang mereka kehendaki tanpa peduli kondisi di sekitarnya. Ini termasuk para perempuan yang memilih untuk tidak memiliki anak. Mereka tidak peduli tindakannya merugikan atau tidak, misalnya dapat menyebabkan depopulasi dan penurunan penduduk usia produktif. Selain itu, jauhnya mereka dari agama menjadikan tren childfree yang jelas-jelas bertentangan dengan syariat malah dibenarkan. Padahal hal itu dapat mengancam keberlangsungan eksistensi umat manusia. Sikap dan gaya hidup childfree ini merusak ketahanan bangsa, umat dan negara. Di antaranya yang kini dialami Jepang dan negara Eropa tentang masalah minimnya angka kelahiran. Mereka sedang menghadapi ancaman kepunahan karena pilihan dan gaya hidup mereka. Wallahu’alam bishshawab

Please follow and like us:

Tentang Penulis