Rakyat semakin Tercekik karena PPN Merangkak Naik.
Oleh : Sri Haryati (Komunitas Setajam Pena)
Lensamedianews.com__ Tahun 2025 tinggal beberapa minggu lagi. Setiap pergantian tahun baru semua berharap kondisi kehidupan akan membaik. Tapi sepertinya semua itu adalah harapan yang sulit untuk diwujudkan.
Sebelum pergantian tahun ini terjadi kita sudah lebih dulu mendapatkan kabar dari pemerintah bahwa awal Januari 2025 PPN akan naik dari 11% menjadi 12%. Rupanya inilah kado awal tahun dalam pemerintahan yang baru.
Dalam dunia perekonomian, kebijakan fiskal selalu menjadi topik yang menarik karena menyentuh hajat hidup orang banyak. Salah satu isu yang kini tengah menjadi perhatian adalah rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% mulai 1 Januari 2025, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). (Antara, 8-11-2024)
Sri Mulyani Indrawati sebagai menteri keuangan juga telah menyatakan, kalau kenaikan tarif PPN akan tetap berlaku di awal tahun dengan tujuan meningkatkan pendapatan negara. Kebijakan ini sebenarnya menimbulkan banyak pertanyaan. Apakah bisa meningkatkan ekonomi berkelanjutan atau malah menjadi beban bagi rakyat. Selain itu pemerintah berharap dengan adanya kenaikan PPN ini bisa mendukung pembiayaan pembangunan dan mengurangi ketergantungan utang.
Tapi pada kenyataannya, hal ini belum tentu bisa meningkatkan pendapatan negara dan juga mengurangi utang. Yang pasti akan lebih menyengsarakan rakyat karena situasi perekonomian dalam keadaan sulit dan itu tampak pada menurunnya daya beli masyarakat. Belum lagi ditambah dengan adanya problem korupsi dan kebiasaan pemerintah yang suka utang.
Jika kita cermati, maka hal ini disebabkan karena diterapkannya sistem ekonomi kapitalisme. Di dalam sistem kapitalisme, pajak dijadikan sebagai sumber pemasukan negara. Di sisi lain negara hanya menjadi regulator dan fasilitator, yang melayani kepentingan para pemilik modal yaitu asing. Kebijakan ini membuat negara mau tidak mau harus mengikuti aturan pemilik modal, yang seharusnya negara tidak boleh menyerahkan sumber daya alamnya dikelola asing.
Islam memiliki sistem ekonomi yang mewajibkan negara menjadi ra’in, mengurus rakyat dengan penuh tanggung jawab. Negara mengambil peran dalam pengelolaan sumber daya alam, supaya negara juga bisa memberikan lapangan pekerjaan bagi rakyatnya sendiri hingga rakyat punya penghasilan yang tetap dan daya belinya juga akan meningkat.
Islam menetapkan berbagai sumber pemasukan negara. Sumber pemasukan tetap dari Baitul Mal adalah fai, jizyah, kharaj, seperlima harta rikaz dan zakat. Harta ini diambil secara kontinyu (tetap), baik ada kepentingan ataupun tidak.
Pajak bukanlah sumber utama pemasukan dalam negara Khilafah, bahkan hanya menjadi alternatif terakhir ketika kas kosong. Sementara ada kewajiban atas rakyat yang harus ditunaikan. Apabila kewajiban itu telah tertunaikan maka negara sudah tidak meminta pajak dari rakyat lagi. Tampak jelas perbedaan pengaturan negara dalam sistem kapitalisme dengan sistem Islam.
Wallahu a’lam bishshawab.