Wakil Rakyat, Benarkah Melayani Rakyat?
Oleh: Eliya Nuryani
Lensa Media News – Sebanyak 580 Anggota Dewan terpilih priode 2025 – 2029 resmi dilantik dan mengucapkan sumpah/janji sebagai anggota DPR dipandu oleh Ketua Mahkamah Agung (MA) Muhammad Syarifuddin 01 Oktober 2024 kemarin. Lima tahun kedepan, ratusan anggota dewan di Senayan diharapkan mampu untuk berpihak dan mewakili kepentingan rakyat yang luas. Namun dilansir dalam Tirto.id tanggal 02 oktober 2024 dalam hasil riset terbaru Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) mereka mencatat, sedikit 79 dari total 580 anggota DPR terpilih Priode 2024-2029 terindikasi dinasti politik atau punya kekerabatan dengan pejabat public. Relasi kekerabatan DPR 2024-2029 beragam dari suami istri, anak, keponakan dan lain-lain. Hubungan kekerabaran vertikat tercatata yang paling banyak, yakni caleg terpilih merupakan anak pejabat.
Anggota DPR adalah wakil rakyat dalam menyampaikan aspirasi rakyat namun juga membuat aturan Undang-undang. Realita hari ini ada banyak hubungan antara satu dengan yang lain sehingga rawan konflik kepentingan. Apalagi hari ini bisa dikatakan tidak ada oposisi, semua menjadi koalisi. Siapa yang berpihak pada rakyat kalau semua berada salam satu barisan. Bahkan membela kepentingan oligarki
Beginilah hidup dalam sistem kapitalisme saat ini wakil rakyat dipilih bukan karena kemampuannya, namun karena kekayaan atau jabatan bahkan politik uang yang sudah menjadi hal biasa dalam pemilihan pemimpin saat ini. Baik dari Tingkat daerah maupun pusat, siapa yang mempunyai kekayaan atau jabatan akan menjadi pemenang dengan segala cara tidak memandang halal atau haram. Rakyat ditipu dengan janji manis Ketika dalam masa pemilihan tetapi setelah mereka berada dipilih, mereka hanya memikirkan kepentingan partai atau individu tanpa memikirkan kepentingan rakyat. DPR tidak boleh tunduk dan tersandera oleh kepentingan parpol, elite politik, kekuasaan eksekutif, apalagi menjadi anggota DPR RI hanya demi meraup untung pribadi dan keluarga.
Wakil Rakyat dalam Pemerintahan Islam
Dalam Islam ada Struktur Bernama Majelis Umat. Mereka mewakili umat dalam melakukan muhasabah (kontrol/koreksi) dalam para pejabat pemerintahan. Keberadaan majelis umat ini berbeda secara diametral dengan parlemen didalam demokrasi. Keberadaan Majelis Umat ini dia ambil dari aktivitas Rasullulah Saw. Yang sering meminta pendapat/bermusyawarah dengan beberapa orang dari kaum muhajirin dan ansar yang mewakili kaum mereka. Ada orang-orang tertentu diantara para sahabat yang beliau minta pendapat mereka, diantaranya Abu Bakar, Umar bin Khatab, hamzah bin Abdul Muthalib, Ali Bin abi Thalib, salman Al-farisi, dan Hudzaifah. Demikian juga terdapat sejumlah dalil yang menyerukan kaum muslimin untuk mengontrol dan mengoreksi penguasa (muhasabah al hakim). Kaum muslim melanjutkan mengoreksi para pejabat pemerintahan itu pada masa Khulafaurasyidin dan para khalifah, dalam Islam ada Majelis ummah, yang menjadi wakil rakyat, dipilih oleh rakyat karena merupakan representaasi umat. Tugasnya menyampaikan aspirasi, namun tidak memiliki wewenang untuk membuat aturan. Setelah dicermati realitas para anggota majelis umat pada masa peradaban islam sungguh fungsinya secara structural sangat berbeda dengan parlemen dalam system demokrasi. Motivasi para anggoita majelis umat untuk mewakili rakyat/warganya juga sangat jauh dibandingkan para anggota dewan saat ini.
Upaya untuk riayatusy syuunil ummah ( mengurusi urusan umat) begitu kuat dalam khilafah. Demikian halnya motivasi untuk muhasabah lil hukam ( mengoreksi penguasa). Ini semua karena landasannya adalah amar maruf nahi mungkar sehingga semua pihak berlomba-lomba untuk mewujudkan kebaikan dalam konteks perlaksaan dan penerapan syariat kaffah.
[LM/nr]