Presiden Baru, Harapan Baru?
Oleh: Rizki Rahmayani, S.E
Lensa Media News – Pesta demokrasi telah usai, kemenangan telah diumumkan. Kini, estafet kepemimpinan telah beralih dari Presiden Joko Widodo kepada Presiden Prabowo Subianto untuk memimpin Indonesia selama lima tahun ke depan. Do’a dan harapan-harapan baik digaungkan oleh masyarakat berharap kepemimpinan yang baru mampu memberikan kesejahteraan dan kemakmuran yang diimpikan rakyat. Namun, akankah harapan tersebut berbuah kenyataan?
Jika kita merujuk pada RAPBN 2025, total pendapatan negara sekitar 2996,9 triliun sedangkan belanja negara sebesar 3.613,1 triliun. Artinya terdapat defisit anggaran sekitar 616,2 triliun yang menjadi peluang bagi Indonesia untuk melakukan pinjaman luar negeri atau menggandeng investor asing dalam berbagai proyek strategisnya. Hal ini tentunya akan meningkatkan dominasi asing kepada Indonesia dalam berbagai kebijakan yang diambil oleh pemerintah agar mampu memberikan kompensasi menguntungkan bagi negara penghutang baik berupa izin usaha, impor tenaga kerja dan sebagainya.
Titik kritis selanjutnya yakni APBN yang komposi utamanya masih ditopang oleh pajak. Sekitar 83% pendapatan negara berasal dari pajak atau senilai 2490,9 T dari total anggaran 2996,9 T. Hal ini tak jauh berbeda dengan rezim-rezim sebelumnya yang menerapkan sistem ekonomi kapitalisme dan menggantungkan kehidupan negara pada pajak. Artinya, rakyat harus terus memeras keringat untuk membiayai keuangan negara dengan menyetorkan pajak sebanyak-banyaknya, sementara sumber daya alam yang melimpah justru diserahkan dengan mudah kepada asing dan aseng.
Selanjutnya, berkaitan dengan kebijakan luar negeri Presiden Prabowo juga tidak jauh berbeda dengan pemimpin-pemimpin sebelumnya. Belum genap sebulan pasca dilantik beliau telah melakukan kunjungan kerja ke Amerika dan China dalam rangka menyatakan loyalitas dan memperkuat hubungan kerjasama dengan kedua negara adidaya tersebut. Kedatangan Prabowo ke beberapa negara ini mengindikasikan kebijakan luar negeri Indonesia mencoba menjaga keseimbangan kepentingan Indonesia pada negara-negara barat (Amerika Serikat, Inggris dll),dan timur, terutama Tiongkok sebagai ekonomi terbesar nomor 2 dunia saat ini, pola ini juga memberikan indikasi Prabowo akan meneruskan pola kebijakan politik non-blok.
Beliau bahkan menegaskan bahwa Indonesia akan berperan aktif dalam proses mediasi Palestina-Israel untuk memberikan keadilan bagi kedua negara yang berkonflik. “Ya kita bahas itu (Gaza), saya tetap menyarankan two state solution, sebenarnya mereka juga setuju,” kata Prabowo usai bertemu Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin (kompas.com, 14-11-2024). Hal ini justru mengindikasikan bahwa Prabowo tidak berpihak kepada Palestina dan justru mendukung pendudukan Israel dengan solusi pembagian negara, padahal sudah jelas Israel adalah pencuri yang telah merampas tanah dan hak-hak kaum muslimin di Gaza, maka seharusnya tidak ada toleransi bagi penjajah laknatullah tersebut.
Pada akhirnya, pergantian presiden yang terjadi setiap lima tahun sekali tidak akan membawa perubahan yang signifikan dan menyejahterakan rakyat selama sistem yang dipakai masih sama, yakni sistem kapitalisme yang menjadikan pemilik modal sebagai penguasa dibalik layar yang menjadi dalang dari wayang-wayang politik yang kebijakannya bisa disetir dan dibeli oleh materi. Kapitalisme juga menjadikan negara berkembang seperti Indonesia harus patuh intervensi negara adidaya yang justru menjajah sumber daya alam negara dan menjebaknya dalam mekanisme hutang riba yang tak ada habisnya.
Semua fakta diatas harusnya menyadarkan kita bahwa tidak ada harapan baru pada presiden yang baru saja terpilih selama Indonesia masih terkungkung dalam sistem kapitalisme, sudah saatnya kita kembali kepada Islam yang memiliki pengaturan yang paripurna atas kehidupan manusia baik dalam skala individu, masyarakat hingga bernegara. Sistem inilah yang akan membawa rahmatan lil ‘alamin karena ia murni berasal dari wahyu Allah dan tuntunan Rasulullah.
[LM/nr]