Tebang Pilih Pengadilan Korupsi, Tradisi Sistem Kolusi
Oleh : Ummu Rifazi, M.Si
LenSa Media News–Suatu waktu, Khalifah Umar bin Abdul Aziz meminta sang istri yaitu Fatimah untuk mengembalikan seluruh perhiasan pemberian ayahnya ke kas negara (baitul mal).
Karena Beliau mengetahui bahwa harta peninggalan mertuanya tersebut merupakan milik negara. Tak hanya itu, Al Faruq II ini memerintahkan para pejabat untuk mengembalikan seluruh harta hasil korupsi ke baitul mal. Sang Al Faruq II tak segan melakukan pemecatan terhadap siapapun yang melakukan penyelewengan.
Sayang seribu sayang, tekad kuat pencegahan dan pemberantasan korupsi dalam kisah tersebut mustahil ditemui dalam sistem kehidupan saat ini. Tebang pilih kasus korupsi justru makin menjadi.
Yang terkini adalah ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan bahwa fasilitas pesawat jet pribadi yang digunakan anak Presiden ketujuh RI ke Amerika Serikat, bukan termasuk gratifikasi. Sebab, sang anak bukan penyelenggara negara, melainkan sudah hidup terpisah dari orangtuanya (kompas.com, 01-11-2024).
Demokrasi, Sarat Kolusi dan Nepotisme
Alasan yang mendasari keputusan KPK tersebut dinilai oleh Pakar Hukum Pidana Universitas Indonesia Gandjar Laksmana Bonaprapta sebagai sesuatu kekeliruan yang menyesatkan.
Karena penerima gratikasi berupa barang dan jasa tidak harus dinikmati langsung oleh penyelenggara negara, namun bisa dinikmati langsung oleh keluarga inti atau orang terdekatnya (kompas.com, 07-11-2024).
Kasus yang melibatkan anak Presiden ketujuh RI ini sangat mirip dengan yang terjadi pada anak seorang pegawai Ditjen Pajak. Perbedaannya, KPK menelusuri sampai tuntas kasus anak pegawai Diten Pajak dan terbukti sebagai gratifikasi.
Sebaliknya untuk kasus anak Presiden Ketujuh RI ini, KPK tidak mempunyai keberanian untuk menelusuri sampai tuntas. Realitasnya KPK memang sudah secara terstruktur dan sistematis dilemahkan bertahun-tahun sebelumnya lewat revisi UU KPK pada tahun 2019, ketika sang ayah masih menjabat sebagai Presiden ketujuh RI.
Tebang pilih penegakan hukum dalam kedua kasus tersebut adalah akibat tidak adanya kontrol agama terhadap kekuasaan dalam sistem demokrasi sekuler kapitalis liberalis.
Ketiadaan agama dalam sistem kehidupan batil ini melahirkan dan menumbuhkan suburkan manusia-manusia serakah pelaku kolusi dan nepotisme.
Sistem ini membuat penguasa leluasa membuat dan merubah aturan, agar aman dari jerat hukum meski melakukan korupsi, demi meraih dan mempertahankan kekuasaannya. Sebaliknya pihak yang dianggap membahayakan kekuasaan rezim, mudah dijegal dan dijerat hukum.
Tuntaskan Korupsi dengan Sistem Tuntunan Ilahi
Aturan dan hukum dalam Islam bersifat pasti dan adil, karena berasal dari Ilahi. Dengan demikian, Sistem Islam akan menjamin keadilan hukum bagi seluruh umat manusia. Siapa pun yang melanggarnya akan terkena sanksi hukum, meskipun dia anak seorang khalifah.
Korupsi atau penggelapan harta dikenal dengan istilah ghulul. Ghulul merupakan tindakan haram. Nabi Saw. bersabda : “Siapa saja yang kami beri tugas melakukan sesuatu pekerjaan dan kepada dia telah kami berikan rezeki (gaji) maka yang diambil oleh dia selain itu adalah ghulul. (HR Abu Dawud).
Pelaku ghulul berdosa, sebagaimana sabda Nabi saw. “Barang siapa berlaku ghulul maka ia akan membawa barang yang digelapkan atau dikorupsi itu pada hari kiamat (HR At-Tirmizi).
Gratifikasi atau hadiah, juga termasuk harta ghulul. Nabi Saw. menegaskan hal ini, ” Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kufur.” (HR Ahmad).
Pemicu dari ghulul adalah potensi keserakahan dalam diri manusia. Oleh karenanya benteng pertahanan utama pencegahan dan pemberantasan ghulul adalah melalui penanaman keimanan dan ketakwaan.
Benteng utama ini hanya bisa dibentuk dan dipertahankan dalam sistem kehidupan yang menerapkan aturan Islam secara kaffah. Negara yang menerapkan sistem ini adalah Daulah Khilafah Islamiyyah.
Beberapa mekanisme yang dijalankan Daulah Khilafah Islamiyyah dalam menangani korupsi :Pertama, pemilihan pejabat dan pegawai negara adalah berdasarkan keimanan dan ketakwaan, bukan karena faktor kedekatan atau kekeluargaan (nepotisme).
Kedua, negara menetapkan sistem penggajian dan kompensasi yang layak sehingga tidak ada alasan bagi siapapun untuk berlaku korup.
Ketiga, negara menetapkan ketentuan serta batasan yang sederhana namun jelas tentang harta ghulul atau haram. Hal ini dibarengi dengan pencatatan harta pejabat dan pegawai serta audit secara berkala. Jika terjadi jumlah yang tidak wajar maka akan disita oleh negara baik sebagian ataupun seluruhnya.
Keempat, menerapkan sanksi yang berefek jera atau takzir. Sanksi takzir dapat berupa hukuman penjara bahkan bisa sampai hukuman mati, sesuai dengan tingkat dan dampak korupsinya. Penegakan hukuman dilakukan secara adil sebagaimana perintah Allah dalam QS Al Maidah ayat 8. Wallahu alam bisshowab. [LM/ry].