Kebocoran Pajak, Ironi kebijakan Kapitalisme
Oleh : Ariani
Guru dan Penulis Muslimah Malang
LenSa Media News–Setelah kasus mega korupsi tata niaga di PT Timah Tbk (TINS) dengan nilai kerugian negara fantastis Rp 217 triliun, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Marves) membeberkan tentang potensi hilangnya penerimaan negara sebesar Rp 300 T di sektor kelapa sawit.
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menemukan 4 sumber potensi penerimaan negara di sektor sawit yang hilang,yaitu denda administrasi terkait dengan pelanggaran pemenuhan kewajiban plasma dan sawit dalam kawasan hutan, ekstensifikasi dan intensifikasi pajak dari sektor ini (cnbcindonesia.com, 12-10-2024).
Kemenkeu melaporkan hingga akhir Agustus 2024, penerimaan pajak baru mencapai 60,16 persen dari target APBN 2024 sebesar Rp1.988,9 triliun, atau sekitar Rp1.196,54 triliun (rmol.id, 26-09-2024).
Dilema Pajak di Indonesia
Ada beberapa jenis pajak yang sudah pasti menjadi beban berat bagi rakyat, di antaranya adalah Pajak Penghasilan (PPh) yang dipungut dari pendapatan individu dan Perusahaan; Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang dipungut dari barang dan jasa yang dikenakan konsumen atau pembeli; Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang dipungut atas kepemilikan atau penguasaan atas tanah dan bangunan yang dimiliki oleh individu atau badan usaha ; Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) yang dipungut atas kepemilikan kendaraan bermotor rakyat (pbtaxand.com, 31-08-2023).
Anehnya Indonesia memiliki Undang-Undang Pengampunan Pajak (Tax Amnesty). Pengampunan yang diberikan oleh pemerintah kepada Wajib Pajak meliputi penghapusan pajak yang seharusnya terutang, penghapusan sanksi administrasi perpajakan, serta penghapusan sanksi pidana di bidang perpajakan dengan cara melunasi seluruh tunggakan pajak yang dimiliki dan membayar uang tebusan (sef.feb.ugm.ac.id, 1-11-2026).
Hal ini dipandang tidak adil bagi para pekerja dan buruh yang taat membayar pajak penghasilan serta pembayar pajak kendaraan bermotor yang telah tertib. Tax amnesty ini jelas dinikmati para pengusaha-pengusaha besar yang sengaja tidak membayar atau merekayasa SPT mereka seperti kasus yang ditangani Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (Kanwil DJP) Jawa Barat III terhadap wajib pajak berinisial SBR yang merugikan negara hingga Rp 1,06 miliar. SBR diduga memalsukan SPT dan menunggak pajak (cnbcindonesia.com, 21-05-2024).
Pajak pilar utama negara kapitalis
Memang sistem ekonomi kapitalisme menjadikan pajak sebagai pilar utama Pembangunan negara. Melalui pendapatan pajak, pemerintah dianggap dapat membiayai program yang bermanfaat langsung kepada masyarakat, seperti pembangunan infrastruktur, layanan kesehatan, pendidikan, dan perlindungan social.
Sehingga untuk meningkatkan kualitas hidup rakyat negara kapitalisme malah menjerat rakyatnya dengan aneka pajak dengan slogan orang bijak taat bayar pajak. Ironisnya negara dengan sistem ini malah membentangkan karpet merah bagi pihak swasta untuk menguasai sumber daya alam yang seharusnya dikelola negara untuk mensejahterakan rakyat.
Sistem kapitalisme ini melahirkan paham sekulerisme (pemisahan agama dari kehidupan) sehingga setiap individu bebas melakukan apapun sesuai kehendaknya termasuk dalam hal ekonomi. sistem ini menjadikan manfaat sebagai tolak ukur perbuatan, sehingga pemerintah membebaskan aneka muamalah baik itu bertentangan dengan hukum syara’ karena dipandang berpotensi menyumbang pajak misalnya pajak minuman keras, retribusi warung di daerah prostitusi, pajak tempat hiburan termasuk diskotik dan klub malam. Asal itu menyumbang cuan pajak, maka maksiat jalan terus.
Pajak Dalam Sistem Islam
Abdul Qadim Zallum dalam Kitab “Al Amwal fii Daulah Khilafah”, mendefinisikan secara istilah, bahwa pajak (dharibah) merupakan harta yang diizinkan Allah Swt. untuk mengambilnya dari kaum muslim untuk dimanfaatkan dalam pemenuhan kebutuhan atau pos-pos pengeluaran yang memang diwajibkan atas mereka, di tengah kondisi baitulmal kaum muslim defisit.
Pos pengeluaran yang boleh menggunakan dana pajak tersebut adalah pembiayaan jihad dan terkait kebutuhan milter atau tentara yang dipersiapkan untuk jihad di jalan Allah serta pos untuk kebutuhan para kaum duafa, orang-orang miskin, ibnu sabil termasuk untuk penanganan darurat bencana alam.
Negara diperbolehkan memungut pajak hanya bagi kaum muslim yang memiliki kemampuan harta, tidak pukul rata dan sifatnya sementara selama Baitulmal masih defisit. Negara juga tidak boleh mewajibkan pajak yang tidak ada kaitannya untuk kebutuhan mendesak menyangkut kepentingan umat, kaum fakir miskin, darurat bencana, dan jihad fii sabilillah.
Penguasa yang mewajibkan pajak, padahal bukan dalam kondisi darurat adalah termasuk perbuatan zalim. Para pemungutnya diancam dengan sabda Rasulullah saw.,”Tidak akan masuk surga orang-orang-orang yang memungut pajak (cukai).” (HR. Ahmad, ad Darami dan Abu Ubaid). Wallahu’alam bish shawab. [ LM/ry ].