Kiprah Gen Z di Pilkada, Hanya Sebatas Suara?

Oleh : Ummu Zhafran

Pegiat literasi

 

LenSa Media News–Belum lama, sosialisasi bagi pemilih pemula alias gen Z digelar Pemkot Kendari. Sejumlah siswa perwakilan dari beberapa SMA dan SMK diikutkan dalam acara ini. Tujuan kegiatan seperti yang diberitakan, agar pemilih pemula memahami dan mengetahui hak dan kewajiban dalam berpolitik, terutama dalam menyalurkan hak pilih hingga tak mudah tergiur iming-iming uang dan manisnya janji (kendariinfo, 26-9-2024).

 

Memang, bisa dikatakan jumlah pemilih gen Z kali ini cukup signifikan. Mengutip data yang dirilis oleh KPU Kendari, terdapat total 238.683 DPT, dengan pemilih milenial (lahir tahun 1981 -1996) sejumlah 90.931 orang. Sementara Generasi Z atau mereka yang lahir pada rentang tahun 1997 – 2012 sebanyak 64.428 orang. Sisanya merupakan gen X atau mereka yang lahir pada tahun 1965 – 1980 (kendariinfo, 26-9-2024).

 

Untuk skala nasional bahkan Gen- Z disebut-sebut sebagai pilar dari generasi emas 2045. Berdasarkan sensus kependudukan 2020, tercatat jumlah penduduk Indonesia didominasi Gen-Z yang mencapai 75,49 juta jiwa atau 27,49% dari total penduduk 270,2 juta jiwa.

 

Dengan jumlah sebesar itu layak bila gen Z jadi primadona. Namun sangat disayangkan bila dengan potensi yang dimiliki Gen Z baik secara fisik, pemikiran maupun emosional dalam bentuk semangat yang membara, nyatanya yang dibutuhkan dari mereka hanya suara. Terbukti kegiatan sosialisasi yang diberikan, seolah absen dalam memberi pendidikan politik selain soal hak pilih dan teknis menyalurkannya.

 

Idealnya, sejak awal gen Z diajak untuk melek soal politik. Termasuk mengajak mereka untuk menyadari betapa persoalan tak kunjung henti mendera generasi saat ini, meski telah berulang kali menggelar hajatan pemilu.

 

Bisa dilihat sendiri berbagai masalahnya antara lain penyalahgunaan narkoba, parahnya gaul bebas alias zina, dan terus meningkatnya angka bunuh diri. Jangan lupakan pula darurat pengguna judol (judi online) serta pinjol (pinjaman online).

 

Lebih jauh lagi, pengertian politik yang hakiki dan paling mendekati realitas tak bisa dipungkiri justru ada pada Islam. Politik atau siyasah dalam kamus Al-Muhith artinya ‘mengatur, memelihara, mengurusi’.

 

Hal ini sesuai dengan kenyataan karena secara alami semua yang berkiprah dalam politik praktis saat ini tentu berharap tak berhenti saat telah terpilih saja, melainkan lanjut mengatur dan memutuskan kebijakan sesuai dengan apa yang diinginkan.

 

Secara istilah politik kemudian didefinisikan dengan pemeliharaan terhadap urusan umat, baik di dalam maupun di luar negeri sesuai dengan syariat Islam (Muhammad Rawwas Qal’aji, Mu’jamu Lughatil Fuqaha’).

 

Jelas bertolak belakang dengan demokrasi yang menyerahkan wewenang membuat aturan kepada manusia, Islam tidak demikian. Dalam penggalan firman Allah Swt., yang artinya,“… Hukum itu hanyalah milik Allah...” (TQS Yusuf : 40).

 

Tegas dalam ayat ini bahwa keputusan dan pengaturan terhadap urusan umat hanyalah bagi dan milik Allah semata. (Tafsir Imam Ibnu Katsir).Terlebih kekuasaan yang dijalankan oleh manusia sejatinya untuk menolong agama Allah Swt., bukan yang lain.

 

Sebagaimana doa yang diajarkan Allah Swt. kepada Nabi saw. “Katakanlah, ‘Tuhanku, masukkanlah aku dengan cara masuk yang benar dan keluarkanlah (pula) aku cara keluar yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong.” (TQS Al Isra:80).

 

Kalimat Sulthan nashira artinya kekuasaan yang menolong, ini bisa berarti kekuasaan dan kemuliaan yang kuat yang bisa menolong Islam terhadap kekufuran dan mengalahkannya. Bukan yang sifatnya macam ritual lima tahunan saja.

 

Sehingga dari mencermati ayat di atas dapat diambil suatu hikmah. Bahwa beragam persoalan yang mendera seluruh umat manusia saat ini adalah akibat tidak diterapkannya Islam kafah dalam naungan shultanan nashira alias kekuasaan yang tegak menjamin berlakunya syariat. Sebaliknya yang wujud adalah pengaturan kehidupan berasaskan sekularisme yang nyata-nyata mengabaikan petunjuk syariat. Utamanya di sektor kemasyarakatan hingga negara.

 

Maka satu-satunya peran politik saat ini yang bisa dilakukan tentu dengan meneladani perbuatan Nabi Muhammad saw. Yaitu berdakwah lil Islam. Ketika itu Rasulullah saw. tidak hanya menyampaikan tuntunan wahyu Allah, melainkan juga menyingkap kebobrokan sistem jahiliah yang diterapkan pada saat itu hingga terbangun kesadaran politik yang benar pada diri para sahabat.

 

Pada gilirannya kesadaran tersebut mendorong para sahabat lebih giat mengkaji, memahami, mengamalkan dan memperjuangkan Islam hingga rela mempertaruhkan segalanya demi kemuliaan Islam, umat muslim dan seluruh alam .

 

Kini, sanggupkah Gen Z mengulang sejarah bahkan lebih baik dari masa Rasulullah saw. dan para sahabat? Tentu, dengan izin Allah. Wallahualam bissawab. [LM/ry].

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Please follow and like us:

Tentang Penulis