Paradoks Kapitalisme, Pemerataan Kesejahteraan Ilusi!
Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban
LenSa Media News–Gelombang PHK susul menyusul bak tsunami, sepanjang Januari hingga September tahun ini, angka sudah menembus 53.000 orang. Indah Anggoro Putri, Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Kemnaker merinci PHK didominasi sektor pengolahan sebanyak 24.013 orang. Kemudian disusul aktivitas jasa lainnya sebanyak 12.853 orang, serta di sektor pertanian, kehutanan dan perikanan sebanyak 3.997 orang (detikFinance, 26-9-2024).
Paradoks, sementara Menteri Dalam Negeri Muhammad Tito Karnavian, mengeluhkan kinerja pegawai honorer daerah yang tak semua memiliki keahlian, dan ternyata mereka titipan tim sukses salah satu pemimpin, begitu menang yang didukung, seketika dijadikan tenaga honorer. Akibatnya, jumlahnya terus bertambah, berdampak pada membengkaknya penggunaan anggaran (tempo.co, 25-9-2024).
Dampak lain, banyak yang pekerjaannya kurang maksimal seperti datang ke kantor pukul 08.00 dan pulang pukul 10.00. Semestinya ada kuota yang berbeda di setiap wilayah. Tenaga honorer titipan ini, meski berganti pemimpin mereka tetap ada, seolah tradisi, ketika pimpinan baru terpilih, tim sukses baru pun melakukan penambahan pegawai honorer sebagaimana timses sebelumnya.
Tito memberikan masukan agar rekrutmen beralih ke digitalisasi. Sementara Pemda perlu mendorong masyarakat tidak hanya menjadi pegawai negeri, tapi juga wiraswasta dan memperkuat usaha mikro kecil dan menengah. “Buat ekosistem agar sistem private sector-nya hidup, karena kalau swasta hidup pendapatan akan meningkat,” ujar Tito. Tito juga berharap pemerintah daerah ke depan lebih kreatif dalam hal pemenuhan anggaran karena selama ini masih banyak yang mengandalkan dana transfer dari pemerintah pusat.
Kesejahteraan Ala Kapitalisme, Ilusi!
Sangat dimengerti ketika pegawai honorer titipan tidak mau diberhentikan meski pimpinan yang mereka usung sudah tak lagi menjabat, di luar sana lebih kejam bagi mereka, tak mudah mencari pekerjaan. Job fair tak banyak membantu, sebab syarat yang diajukan perusahaan tak jarang inklusif. Ketrampilan dan pendidikan seringkali tak cocok, belum lagi persaingan dengan orang dalam yang hampir tujuh turunan menguasai perusahaan tersebut. Jelas tak ada makan siang gratis, tenaga mereka sebagai timses harus mendapat kompensasi.
Menjadi ASN tetap lebih aman dalam pandangan rakyat, meski honorer tetap menjanjikan. Sebab menjadi pengusaha, bisa jadi passion ada tapi lagi-lagi terbentur keahlian dan terutama modal. Sekarang UMKM digiatkan oleh pemerintah, didorong digitalisasi, hingga digadang menjadi tukang punggung perekonomian, tapi berapa lama bisa break even point dan stabil dalam hal keuntungan? Belum lagi incaran empuk pajak PPNnya.
Benar saja jika menjadi ASN adalah dambaan, secara pemerintah memang mengistimewakan ASN. Bukan rahasia, di dalam sistem demokrasi, ASN dan BUMN menjadi ajang bagi-bagi kue kekuasaan. Tak hanya wacana kabinet kementerian era Presiden terpilih Prabowo yang gendut karena dari 33 menjadi 44 menteri. Sudah terbayang bagaimana beratnya APBN. Dan inilah fakta tinggal di negara dengan sistem kapitalisme demokrasi.
Pemimpin yang dilahirkan akan selalu berhadapan dengan dua pilihan berat. Antara kepentingan kroninya atau kepentingan pengusaha yang sudah memberikan dana sejak masa kampanye hingga benar-benar duduk di tampuk kekuasaan. Politik balas budi memang tak pernah ramah rakyat.
Islam Jaminan Hidup Sejahtera
Jika Tito mengusulkan Pemda beralih ke rekrutmen berbasis digitalisasi dan mendorong rakyat tak hanya memilih menjadi pegawai selama masih dalam sistem yang sama akan sangat sulit terwujud. Sebab, politik kepentingan lebih berkuasa dari aturan negara sendiri.
Fakta generasi muda tak lagi tertarik menekuni bidang pertanian, fakultas pertanian pun sepi peminat hanya satu permisalan, semua karena negara lebih mementingkan impor, daripada fokus memudahkan petani, membantu dalam hal permodalan dan pelatihan, mendorong inovasi IPTEK termutakhir guna menuju ketahanan pangan yang menyeluruh dan berkelanjutan. Bidang yang lain pun tak beda.
Dalam pandangan Islam, mewujudkan kesejahteraan adalah berjalannya jaminan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat oleh negara. Setiap suami, atau pria baligh dimudahkan menafkahi keluarganya, dengan support sistem negara, sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan dan keamanan akan diurus negara dengan mekanisme ekonomi Islam. Baitulmal, skema pendanaan negara yang memungkinkan negara leluasa memenuhi kewajibannya.
Maka kita wajib kembali kepada pengaturan Islam. Alasannya karena pertama Islam bukan sekadar agama pengatur akidah dan ibadah seseorang tapi ideologi, dasar negara yang berasal dari Allah SWT. Kedua, tidak ada kesejahteraan hakiki kecuali dengan penerapan syariat, tidak tegak syariat kecuali dengan tegaknya institusi negara, yaitu khilafah. Ketiga, penerapan syariat secara menyeluruh adalah kewajiban seluruh kaum muslim. Sebab inilah yang di contohkan Rasulullah Saw. Wallahualam bissawab. [LM/ry].