Pajak dan Ilusi Kesejahteraan

Oleh : Iiv Febriana

Aktivis Dakwah dan Pengajar di HSG Mutiara Umat Sidoarjo

 

LenSa Media News–Dalam sebuah negara yang menganut Kapitalisme pajak merupakan instrument penting yang digunakan untuk menjalankan roda pemerintahan. Ibarat mesin yang tidak mungkin beroperasi tanpa bahan bakar.

 

Metode paling efektif mengumpulkan pajak adalah menadah pada rakyat. Melalui legislasi undang-undang dengan jargonnya bahwa membayar pajak adalah bentuk kepedulian warga negara. Klop sudah bahwa pajak seolah menjadi konsekuensi dalam kehidupan bernegara.

 

Dikutip dari Buku II Nota Keuangan beserta RAPBN 2025 ditunjukkan bahwa penerimaan pajak Indonesia mengalami kenaikan di 2025 menjadi Rp2.189,3 triliun. Angka ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan penerimaan pajak pada 2023 yang tercatat sebesar Rp1.869,2 triliun. Ini adalah kali pertama dalam sejarah target pendapatan pajak Indonesia melewati batas Rp 2.000 triliun(cnbc.com, 16-08-2024).

 

Lalu apakah dengan penerimaan pajak yang tinggi ini berkorelasi dengan meningkatknya pembangunan demi kesejahteraan rakyat?

 

Sejak awal konsep berfikir bahwa pajak adalah cara untuk menggenjot pendapatan negara adalah batil. Bagaimana tidak, Indonesia negeri yang memiliki sumber daya alam yang luar biasa, mulai dari kekayaan lautnya, barang tambang seperti minyak bumi, batu bara dan lainnya dan kekayaah hutan yang membentang di seluruh kepulauan di Indonesia. Lalu kemana semua kekayaan ini sehingga tak cukup memenuhi kantong pendapatan negara?

 

Hal ini menunjukkan adanya kesalahan dalam tata kelola negeri ini. Atas nama investasi kekayaan alam negeri ini diambil alih oleh swasta maupun asing melalui program privatisasi. Ujung-ujungnya negara akan disibukkan untuk mencari sumber-sumber pendapatan baru untuk menggantikan sumber-sumber pendapatan yang telah dijualnya.

 

Pemerintah telah memastikan akan menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen selambat-lambatnya pada 1 Januari 2025 (Kompas.com,19-08-2024). Konsekuensinya harga jual kepada konsumen akan meningkat yang hal ini akan berimbas pada turunnya daya beli masyarakat.

 

Kalau hal ini terjadi maka mudah tinggal meluncurkan Bantuan Tunai Langsung (BLT) yang ujung-ujungnya keuntungan hanya akan dirasakan oleh produsen penghasil barang dan jasa atau dalam kata lain pengusaha dan juga para investor yang berada di belakangnya. Lalu dimana letak pembangunan untuk kesejahteraan rakyat jika yang di untungkan hanya pihak mempunyai modal atau para kapital.

 

Solusi Sejahetara dalam Sistem Islam

 

Dalam sistem pemerintahan Islam, negara akan berusaha memenuhi kebutuhan masyarakat mulai kebutuhan dasar dan juga peluang memenuhi kebutuhan pelangkap (tersier). Kepemimpinan dalam Islam adalah amanah yang berat dan akan diminta pertanggungjawabkan di akhirat kelak. Sehingga jabatannya semata-mata untuk melayani rakyat sesuai dengan ketentuan syariat-Nya. Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam bersabda,“Imam (khalifah) itu pengurus rakyat dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus.” (HR. Al-Bukhari dan Ahmad).

 

Dalam sistem ekonomi Islam, pajak bukanlah pendapat utama negara. Sumber-sumber pendapatan yang telah ditetapkan oleh syariah pada negara meliputi: fa’i, ghonimah, anfal, kharaj, jizyah dan pemasukan dari hak milik umum. Lalu ada harta zakat yang mana zakat ini hanya diperuntukkan untuk delapan kelompok (ashnaf) yang telah disebutkan di dalam Al- Qur’an.

 

Pajak dalam Islam disebut dharibah, diterapkan negara jika memang kas negara sedang kosong,  sedangkan ada kebutuhan mendesak yang harus segera dipenuhi,  jika tidak akan terjadi dharar (musibah/kesengsaraan). Pajak juga tidak dibebankan pada seluruh warga negara melainkan hanya kepada para aghniya (memiliki kelebihan harta).

 

Pungutan dharibah akan berakhir setelah keperluan yang mendesak tersebut telah selesai atau kas negara sudah terisi. Namun begitu, pemungutan dharibah sangat jarang terjadi.

 

Dalam sistem kapitalisme,  pajak tak lebih sebagai alat untuk memalak yang kemudian menambah kesengsaraan rakyat. Atau bisa kita sebut “pemalakan kaum berdasi”. Sungguh , solusi Islam telah nampak di depan mata apakah hukum jahiliyah lebih kita kehendaki dari hukum Allah SWT.? Naudzubillah min dzalik. [LM/ry].

Please follow and like us:

Tentang Penulis