Tren Satgas, Akankah Menyelesaikan Tuntas?

Oleh : Ummu Zhafran

 

LenSa Media News–Kembali, Satuan Tugas (Satgas) dibentuk. Kali ini bukan lagi mengurus judol, melainkan seputar tiket. Ya, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf RI) mengumunkan adanya Satgas khusus untuk menurunkan harga tiket pesawat di Indonesia yang termahal kedua di dunia.

 

Bahkan pemerintah sudah melakukan rapat koordinasi yang menghasilkan sembilan langkah untuk mengatasi problem biaya rute domestik yang mahal di Indonesia (cnbcindonesia, 17/7/2024)

 

Langkah di atas tetap perlu diapresiasi, mengingat akses transportasi yang mudah merupakan salah satu kebutuhan publik yang urgen. Hanya saja, tak bisa dipungkiri ada semacam tren kebijakan baru guna mengatasi persoalan publik, membentuk Satgas.

 

Tak ayal, hal ini cukup menggelitik benak awam. Mengapa harus Satgas sementara seluruh regulasi, perangkat sarana dan prasarana ada di bawah naungan pihak yang berwenang? Tak berlebihan jika sebagian publik meragukan efektivitas Satgas sebagai solusi.

 

Hal ini karena ditinjau dari sudut mana pun keberadaan wewenangnya di bawah lembaga resmi lainnya. Sukar dibayangkan dengan keterbatasan itu mampu memaksa setiap maskapai, terutama yang swasta untuk menurunkan harga.

 

Miris! Ingin heran tapi nyatanya demikian. Maklum bila dalam pandangan publik akhirnya, negara kian lemah menyelesaikan persoalan di tengah masyarakat. Bahkan kelemahan ini semakin menjadi ketika dihadapkan pada akar masalah yang beraroma kapitalistik.

 

Bukan rahasia lagi, bahwa semua yang merupakan hajat hidup orang banyak di negeri ini diserahkan harganya pada mekanisme pasar. Tak terkecuali di sektor transportasi, baik darat, laut dan udara. Tak hanya harga tiket, melainkan juga bahan bakarnya. Maka berlaku hukum layaknya di pasar, yaitu mengejar profit. Meski untuk itu, harus mengabaikan kepentingan masyarakat.

 

Inilah tabiat alami pengelolaan ekonomi berbasis kapitalistik. Ketika negara melepaskan perannya dari secara langsung mengurusi urusan rakyat. Membiarkan oligarki dan swasta ikut bermain menentukan harga di pasar.

 

Jelas orientasi keduanya hanya mengarah pada ambisi memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Dengan sendirinya pada kasus ini, menaikkan harga tiket pesawat menjadi salah satu jalan yang ditempuh untuk mencapai tujuan tersebut. Negara pun tak berdaya berbuat banyak selain membuat regulasi atau membentuk Satgas seperti yang bisa disaksikan saat ini.

 

Akibatnya kesejahteraan masyarakat yang menjadi tugas negara untuk mewujudkannya gagal diraih. Bagaimana mungkin sejahtera, bila bukan hanya harga tiket pesawat yang melambung tapi juga kebutuhan pokok yang sangat vital dibutuhkan rakyat sudah lebih dulu merangkak naik? Sebut saja, beras, minyak goreng, telur, tepung, dan lain sebagainya. Nyaris semua kenaikan barang tersebut disebabkan alasan yang sama, penerapan kebijakan yang berlandaskan ideologi kapitalisme.

 

Kondisi yang jauh berbeda akan terwujud bila ideologi Islam yang diterapkan. Seperti yang sudah dipahami secara luas, pemimpin dalam Islam diposisikan sebagai raa’in atau pengurus yang mengurusi dan memperhatikan urusan rakyatnya.“Imam/Khalifah itu laksana penggembala, dan hanya dialah yang bertanggungjawab terhadap gembalaannya.” (Hr. Bukhari dan Muslim)

 

Terkait transportasi dan segala pernak-perniknya merupakan salah satu urusan vital di tengah masyarakat. Maka Islam sangat memperhatikan masalah ini. Negara kemudian ditugaskan untuk menyediakan transportasi yang murah, mudah, cepat, dan aman.

 

Islam mewajibkan negara mengatur dan menyediakan layanan tersebut. Segala pembiayaan transportasi akan diambil dari kas negara (baitulmal). Negara dapat mengelola pendapatan dari pengelolaan SDA dan beberapa pemasukan lain, seperti jizyah, fai, kharaj, ganimah, dan lainnya demi memberikan layanan yang terbaik.

 

Sebab tujuan negara dalam Islam melayani kepentingan masyarakat, bukan malah mengejar keuntungan. Kalaupun harus menarik tarif, maka negara harus memastikan dapat terjangkau dengan menjamin pemenuhan kebutuhan pokok yang lain, seperti pangan, sandang, papan, pendidikan, keamanan dan kesehatan.

 

Dengan syarat, penerapan syariah Islam dengan kafah maka seluruh hal di atas dapat diwujudkan. Sebab Islam memang sempurna dan disempurnakan Allah Swt. untuk kebaikan seluruh umat manusia melalui perantaraan Nabi Muhammad saw.

 

Sayangnya, hal ini belum dipahami sebagian masyarakat. Padahal menaati syariat Islam bukan saja karena hal tersebut merupakan solusi tuntas problematik yang ada, melainkan yang utama adalah konsekuensi dari iman yang diyakini setiap muslim. Wallahualam bissawab. [LM/ry].

Please follow and like us:

Tentang Penulis