Ribawi Bukan Solusi bagi Pendidikan Tinggi

Oleh: Santi Salsabila 

(MIMم_Muslimah Indramayu Menulis) 

 

LenSaMediaNews.com__Pendidikan menjadi barang mahal. Tengok saja di negeri kita saat ini, yang dapat menikmati bangku perkuliahan hanya orang-orang dengan latar belakang mentereng dan memiliki previlage. Tapi bagi sobat-sobat yang tergolong biasa-biasa saja, atau gaji orang tua pas-pasan, tentunya akan lebih sulit untuk menempuh pendidikan tunggi. Bahkan yang sudah masuk perkuliahan pun harus bersusah payah. Mereka mencari biaya tambahan agar bisa membayar biaya kuliahnya hingga lulus.

 

Seperti yang dialami oleh sobat kita dari Sumatera Utara Naffa Zahra Muthmainnah. Naffa memilih mengundurkan diri dari USU (Universitas Sumatera Utara) akibat kenaikan biaya UKT, yang tidak terjangkau. Padahal USU adalah universitas dambaannya sejak kecil. Tapi apalah daya, orang tuanya tak punya biaya untuk membayar UKT yang terbilang mahal itu.

 

Selain Naffa, banyak sobat kita yang bernasib sama. Ada yang memilih mengundurkan diri ketika sudah jadi calon mahasiswa baru, dan banyak lagi yang putus di tengah jalan akibat tak mampu membayar UKT.

 

Dan makin bikin ngenes, nih Sob, di tengah naiknya UKT, Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy mendukung wacana student loan atau pinjaman online (pinjol) kepada mahasiswa untuk membayar uang kuliah. Hal itu diungkap merespons dorongan DPR RI kepada Kemendikbudristek RI menggaet BUMN terkait upaya pemberian bantuan dana biaya kuliah untuk membantu mahasiswa meringankan pembayaran (CNN Indonesia.com, 03-07-2024) .

 

Ibarat kulit luka disiram air garam, pedih ya double. Sobat-sobat di luar sana malah dikasi solusi menjerat. Gimana tidak, pinjaman online yang di dalamnya ada bau-bau haramnya ribawi, malah ditawarkan sebagai jalan keluar untuk masalah kenaikan UKT ini. Padahal jika itu dilakukan, hanya akan menambah banyak masalah baru. Salah satu dampaknya bisa makin banyak sobat mahasiswa yang depresi akibat terjerat pinjol. Di akhiratnya, malah lebih berabeh lagi. Allah sangat mencela perbuatan ribawi ini.

 

Pendidikan tinggi harusnya tidak seperti menginap di hotel bintang lima. Atau serupa mendaki gunung Himalaya, yang berat luar biasa. Sebaliknya, perkara menuntut ilmu ini, harus bisa diakses oleh semua kalangan. Lah kok kenapa makin ke sini malah makin ke sana. Maksudnya, malah semakin dramatis, menguras air mata dan keringat mahasiswa juga orang tua mereka. Pendidikan di negeri ini mirip perusahaan swasta yang menjual ilmu. Siapa sanggup bayar, maka dia baru bisa menikmatinya. Haduh, pusing pala Barby!

 

Sebenarnya obat ampuh atas frustasinya mahasiswa ada di dalam Islam, lho. Islam telah sangat jelas dan tegas mengharamkan transaksi ribawi. Apapun alasannya, hukum haram riba tidak bakalan geser sejengkal pun. Maka tidak akan ada ceritanya, hal maksiat dijadikan opsi jalan ke luar.

 

Dalam Islam, pendidikan dipandang sebagai perkara penting dan menjamin siapapun untuk bisa mengaksesnya. Kurikulumnya pun disiapkan di atas pondasi keimanan. Sehingga kepribadian Islam melekat kuat, dalam diri setiap pelajar. Motif menjadi penuntut ilmu pun tidak sekadar demi mendapat pekerjaan di kemudian hari. Tetapi, demi bakti kepada Allah, Sang Pencipta, dengan cara berkarya untuk memakmurkan bumi dan isinya.

 

Jika fasilitas pendidikan terjamin, tidak mungkin sobat mabar (mahasiswa baru), sampai menggulung tikar atas mimpinya berkuliah. Malah mereka akan di-support habis-habisan oleh negara, untuk terus melanjutkan study setinggi-tingginya. Agar dapat menjadi ilmuan atau berinovasi untuk kepentingan umat dan syiar Islam.

 

Mungkin ada yang bertanya dari mana sumber dananya? Tenang Sob, Islam adalah ajaran yang membumi. Keidealan di atas bukanlah mimpi atau janji-janji penjual permen. Dalam Islam, negara memiliki pos pemasukan yang seabrek-abrek. Salah satunya dari SDA (Sumber Daya Alam). Taruhlah dari hasil tambang yang nilainya fantastis. Ada juga dari sektor perhutanan, pertanian, kelautan dsb.

Asalkan jangan diswastaniasi atau diprivatisasi. Pengelolaannya langsung oleh negara. Karena SDA merupakan hak milik umum, maka hasil dari pengelolaannya digunakan hanya untuk kepentingan warga negara saja. Termasuk untuk membiayai sektor pendidikan. Karena statusnya sebagai fasilitas bagi setiap warga, maka tak kenal yang namanya UKT, atau biaya-biaya lainnya. Pelajar atau mahasiswa hanya dituntut belajar, dan mengembangkan kemampuannya.

 

Profil negara seperti ini bisa terwujud asal berdiri di atas visi akhirat. Negara yang memberikan kedaulatannya hanya kepada syari’ (Allah Swt.), sehingga tidak ada kesan hitung-hitungan dengan warganya sendiri. Seperti inilah bila kehidupan sobat-sobat mahasiswa dan tentunya kita semua, berada di bawah naungan sistem Islam.

Wallahu a’lam bish-shawab. [LM/Ss] 

Please follow and like us:

Tentang Penulis