Grasi untuk Pedofili, Mengkhianati Generasi
Oleh : Ayin Harlis
(Narasumber Kajian Muslimah MQ Lovers, Bekasi)
LensaMediaNews- Siapa yang tak sakit hati dikhianati? itulah yang dirasakan Theresia, ibunda korban pelecehan seksual pedofilia saat mendapat kabar Neil Bantleman telah bebas. Mantan pengajar di Jakarta International School (JIS) tersebut mendapat grasi dari Presiden Joko Widodo berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 13/G tahun 2019. Kepres tersebut memutuskan pengurangan pidana dari 11 tahun menjadi 5 tahun 1 bulan dan denda pidana senilai Rp 100 juta. “Dendanya juga sudah dibayar,” ungkap Ade Kasmanto, Kabag Humas Ditjen Permasyarakatan (megapolitan.kompas.com, 12/07/2019).
“Itu grasi diam-diam. Saya akan pertanyakan ke pengadilan,” ujar Theresia saat berbincang dengan CNNIndonesia.com, Jumat (12/1). Theresia, ibunda siswa JIS berinisial MA yang menjadi korban Bantleman mengatakan, sebagai pelapor dia tidak pernah dikirimi surat oleh pengadilan tentang grasi itu (cnnindonesia.com, 12/07/2019).
Kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberikan grasi kepada warga Kanada, Neil Bantleman, ini disesalkan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Anggota KPAI Putu Elvina menilai grasi Jokowi menjadi lembaran hitam upaya perlindungan anak di Indonesia dari kejahatan seksual apapun bentuknya. Menurutnya, sebelum memberikan grasi seharusnya Jokowi mempertimbangkan nasib korban kekerasan seksual (cnnindonesia, 13/07/2019).
Tak hanya keluarga korban, seluruh masyarakat Indonesia yang masih perduli dengan nasib generasi mendatang patut mempertanyakan disetujuinya grasi tersebut. Hukuman yang seharusnya 11 tahun terpotong menjadi hanya 5 tahun saja terbilang ringan dibanding trauma anak yang menjadi korban. Masyarakat akan memiliki asumsi bahwa kejahatan pedofilia adalah kejahatan ringan karena hukumannya ringan.
Pelaku pedofili akan lebih berani berbuat kejahatan karena ancaman tidak menjerakan. Lebih jauh orang tua akan semakin kehilangan kepercayaan pada hukum dan memilih main hakim sendiri. Inilah yang akan terjadi karena pemberian grasi ini adalah bukti lemahnya negara menghadapi pelaku kriminal terutama warga negara asing.
Padahal kejahatan berat semacam pedofilia, apalagi ditambah homoseksual, seharusnya mendapat hukuman yang berat. Faktanya, pedofilia dapat dikatakan perilaku dursila yang menular. Betapa banyak kasus yang mengungkap pelaku kejahatan pedofilia homoseksual (abuser) adalah korban kejahatan yang sama (abused) sebelumnya. Ambil contoh Emon, pelaku pedofilia homoseksual di Sukabumi. Predator anak ini memangsa 104 korban dengan iming-iming sepele. Setelah ditelusuri, ia mengaku bahwa dulu ia menjadi korban perbuaan bejat serupa oleh tetangganya.
Siapapun yang masih memiliki kepedulian terhadap moral dan kualitas generasi masa depan, amat wajar bila kemudian mengalihkan pandangan kepada solusi agama. Di tengah kelemahan manusia dalam membuat hukum dan aturan, beralih pada hukum dan aturan yang tertuang dalam kalam Ilahi dan teladan Nabi menjadi tak sekedar wacana. Keimanan kepada Sang Pencipta pun menjadi landasan bahwa syariah adalah jawaban.
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَىٰ لِلْمُسْلِمِينَ
“Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri” (Qs An-Nahl: 89).
Islam memandang tindak kriminal adalah kemaksiatan yang merupakan pelanggaran terhadap hukum Allah. Homoseksual adalah perilaku menyimpang yang keluar dari tuntunan Islam. Oleh karenanya ia merupakan tindak kriminal yang pantas menerima hukuman. Meskipun atas nama HAM banyak yang memperjuangkan. Banyak yang mencibir hukuman mati dalam Islam bagi pelaku homoseksual dengan tuduhan kejam. Padahal, di dalamnya terdapat ampunan bagi terpidana dan pencegahan bagi masyarakat.
Nabi SAW bersabda:
مَنْ وَجَدْتُمُوهُ يَعْمَلُ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ فَاقْتُلُوا الْفَاعِلَ وَالْمَفْعُولَ بِهِ
“Barangsiapa yang kamu dapati melakukan perbuatan kaum Luth, maka bunuhlah orang yang melakukannya dan dan pasangannya!” (HR. Abu Daud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad, Al-Hakim, dan Al-Baihaqi).
Hukuman mati bagi homoseksual adalah hudud. Yakni bentuk hukuman yang telah ditentukan oleh Allah berdasarkan nash secara eksplisit untuk kriminalitas tertentu. Oleh karena itu, Islam tidak mengenal pemberian grasi untuk pelaku kejahatan homoseksual. Pemberian ampunan datangnya dari Allah dengan pelaksanaan hudud itu sendiri, bukan dari kepala negara. Tuntunan Islam ini akan memberi kepastian hukum. Menjadi peringatan bagi yang berniat melakukan. Memberikan masyarakat rasa aman yang diidam-idamkan.
[LS/Ry]