Persekusi Ulama, Haruskah Terulang Lagi?
Oleh: Zulaika
(Ibu Rumah Tangga dan Pegiat Dakwah)
LensaMediaNews- Kegiatan Sharing Time Tegal bertema Menjemput Keajaiban dalam Ujian yang dilaksanakan di Hotel Bahari Inn, Kota Tegal, Jawa Tengah, Minggu (07/07/2019) siang, mendadak dibatalkan. Meski Ustaz Hanan Attaki yang akan menjadi pembicara sudah tiba di lokasi. Kegiatan yang diselenggarakan Komunikasi Patriot Hijrah tersebut mendapat penolakan dari Gerakan Pemuda (GP) Ansor Kota Tegal.
Ketua GP Ansor Kota Tegal, Imam Kharoman mengatakan organisasinya sudah melayangkan surat keberatan terhadap rencana kegiatan tersebut pada Jumat (05/07/2019) ke Polres Tegal Kota. Imam menegaskan, organisasinya tidak menolak kegiatan pengajian, seminar, kajian Islam, atau acara keagamaan lain. “Pengajiannya kami tidak menolak, Hanan Attakinya yang kami keberatan mengisi pengajian di Kota Tegal”, katanya (Kompas.com, 05/07/2019).
Persekusi ulama bukan hanya kali ini saja terjadi. Beberapa kali pernah terjadi. Bila kita menengok ke belakang, beberapa waktu lalu Ustaz Felix Siauw, Ustaz Tengku Zulkarnain, Ustaz Abdul Somad, dan ustaz yang lainnya pernah menjadi korban persekusi. Ada yang hanya dibubarkan pengajiannya, ditolak masuk, bahkan ada yang sampai meregang nyawa.
Persekusi tersebut terjadi karena isi ceramah mereka dianggap akan memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), tidak Pancasilais, dan sebagainya. Padahal itu hanya asumsi yang tak terbukti. Sementara acara yang mengumbar aurat, pergaulan bebas, dan sebagainya yang akan merusak moral bangsa terutama generasi muda, mereka seolah menutup mata.
Itulah anehnya negeri ini. Segala yang akan membangkitkan naluri beragama bangsa akan dibungkam dan dicekal. Sementara semua yang berbau maksiat dibiarkan merajalela. Semua ini terjadi karena diterapkannya sistem sekuler dimana umat seolah dibelokkan dari naluri beragamanya ke arah yang jauh dari agama.
Sekuler ini telah memisahkan agama dari kehidupan, hingga umat dalam menjalankan kehidupannya tidak menjadikan agama sebagai tolak ukur standar perilakunya. Jejak sekularisme bersanding dengan pluralisme dan liberalisme telah menjadi dasar bagi perkembangan deislamisasi dan depolitisasi Islam di Indonesia.
Deislamisasi terjadi melalui stigma bahwar amar ma’ruf nahi munkar yang menjadi core competency para ulama, dilarang untuk disuarakan apa adanya sesuai tafsir sahih fiqh Islam. Padahal begitu banyak kerusakan yang mesti diluruskan dengan kembali pada tatanan Islam kaffah.
Penegakan hukum di Indonesia pun saat ini terkesan berat sebelah, terutama bila bersangkutan dengan Islam. Seolah lemah dalam menangani kasus terkait Islam terutama persekusi ulama. Namun ketika bersinggungan dengan penguasa atau pelecehan Islam yang dilakukan oleh orang di luar Islam, hukum seolah tuli.
Islam tidak membenarkan tindakan persekusi. Persekusi tetap ditolak Islam, apapun jenis dan kesalahan yang dilakukan. Karena Islam mengedepankan akidah dan akhlak. Islam adalah agama yang damai dan solutif, maka menyelesaikan masalah pun harus berdasarkan syariat yang diturunkan Allah SWT.
Maka ketika seseorang melakukan kesalahan, sebagai saudara se-akidah maka kita harus mengingatkannya dengan amar ma’ruf nahi munkar bukan malah mempersekusi. Hal ini ada dalam firman Allah SWT,
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka…” (TQS Al Fath: 29).
Seruan di atas adalah agar kita sesama muslim saling berkasih sayang dan menjaga kerukunan. Sementara kepada orang-orang kafir, kita harus mencontoh Rasulullah yaitu beliau bisa hidup berdampingan bahkan menjaga hubungan insaniyah yang baik. Lain halnya bila berhadapan dengan orang-orang kafir yang jelas-jelas memusuhi dan memerangi umat muslim.
Kita harus senantiasa keras tidak boleh membiarkan mereka melecehkan Islam terutama melecehkan Rasulullah dan Allah SWT. Tidak seperti saat ini, sesama muslim saling menyakiti namun kepada orang kafir bermanis muka padahal jelas-jelas mereka telah mengambil sumber daya alam kita yang berharga.
Agar hal tersebut tidak berlarut-larut, maka kita butuh khilafah sebagai institusi yang akan mempersatukan seluruh umat dan menaungi seluruh manusia tanpa memandang agama, bangsa, dan ras dalam keadilan yang hakiki. Mulai saat ini, kita harus mencampakkan sistem rusak mengganti dengan sistem Islam yaitu Daulah Khilafah ala Minhaj an Nubuwwah.
Wallahu a’lam bi ash showwab.
[LS/Ah]