Gelombang PHK Menghantui, Indikasi Lemahnya Ekonomi
Oleh: Ummu Zahra
Kondisi perekonomian Indonesia sedang tidak dalam kondisi yang baik. Gelombang PHK dalam negeri terjadi secara besar-besaran. Hingga hari ini, korban PHK diduga mencapai 100 ribu pekerja terhitung selama 6 bulan, sejak awal 2024 (CNBC, 6/6/2024).
PHK ini terjadi tidak hanya sebagai langkah efisiensi yang dilakukan oleh perusahaan, misalnya PT. Pos Indonesia yang melakukan efisiensi tenaga kerja karena beberapa posisi digantikan oleh robot. Namun, ada juga yang disebabkan karena pabrik tersebut sudah berhenti beroperasi. Misalnya PT. Sepatu Bata Tbk. di daerah Purwakarta, PT. Dean Shoes di daerah Karawang, dan puluhan pabrik yang lain dengan ribuan jumlah tenaga kerja.
Beberapa alasan terjadinya PHK, di antaranya adalah karena turunnya permintaan pasar pada barang. Jika pabrik tersebut orientasinya adalah pasar domestik, maka serbuan produk impor baik legal maupun ilegal dituding sebagai pemicu utamanya. Jika orientasi pasarnya adalah ekspor, maka ketegangan geopolitik internasional (Rusia-Ukraina, Israel-Palestina) adalah penyebab tidak optimalnya pabrik-pabrik di dalam negeri. Selain itu perkembangan teknologi juga dianggap sebagai penyebab terjadinya PHK, karena terjadi peralihan otomatisasi produksi.
Beberapa pakar telah bersuara untuk memberikan peringatan kepada para pemimpin negeri ini untuk tidak diam saja. PHK sudah merajalela, pemerintah harus waspada. Karena PHK akan memperparah angka kemiskinan dan ketimpangan di Indonesia, melemahkan nilai rupiah, dan sangat berpotensi memicu krisis (CNBC, 13/6/2024).
Sebenarnya fakta ini adalah sebuah kontradiksi dari janji pemimpin negeri ini pada saat masa kampanye. Pada salah satu janji kampanye disampaikan akan membuka lapangan kerja sebanyak-banyaknya. Namun, realitanya saat ini PHK justru terjadi di mana-mana.
Ketika mengesahkan UU Ciptaker, penguasa membuka pintu investasi sedemikian lebar, dijanjikan bahwa para investor itu akan membuka lapangan kerja, yang akan mengurangi jumlah pengangguran. Namun, gelombang PHK ini hakikatnya sedang memberikan bukti bahwa negara tidak berdaya melindungi rakyatnya. Sebuah janji kosong tanpa makna.
Ini merupakan fenomena yang wajar terjadi pada negeri yang mengadopsi kapitalisme. Negara hanya berperan sebagai regulator dan fasilitator. Seluruh kebijakan yang lahir tidak dalam rangka melindungi rakyatnya. Kita bisa menyaksikan dengan jelas sikap pemerintah yang lemah, tidak ada upaya menghentikan arus impor yang sedemikian bebas. Pemerintah juga tidak melakukan apa pun terhadap modernisasi mesin sebagai hasil dari perkembangan teknologi, yang mengambil alih tugas dan fungsi tenaga manusia. Terlebih, adanya mekanisme outsorcing yang jelas makin menyulitkan tenaga kerja -dalam hal ini adalah rakyat- sebagai pihak yang semestinya diutamakan kepentingan hidupnya.
Jika negara sebagai pelindung masyarakat tidak lagi menjalankan perannya, lalu ke mana rakyat harus meminta perlindungan?
Islam adalah sistem hidup yang diturunkan oleh Allah untuk menyelesaikan permasalahan manusia, termasuk permasalahan ekonomi. Maka, sistem ekonomi Islam akan menjamin kesejahteraan rakyat melalui berbagai mekanisme yang ditetapkan hukum syarak.
Islam menempatkan aktivitas bekerja sebagai salah satu cara untuk memperoleh harta. Maka, negara akan memberikan jaminan kepada rakyat untuk bisa menjalankannya. Negara akan berusaha keras untuk menyediakan lapangan pekerjaan. Negara tidak akan mengeluarkan kebijakan yang berpotensi membuat rakyat kehilangan pekerjaannya. Negara tidak akan terlibat dalam pasar bebas internasional dan mengikatkan diri dengan perjanjian perdagangan global, yang mengharuskan adanya liberalisasi ekonomi. Ini dilakukan semata karena Allah berfirman,
وَلَن يَجْعَلَ اللّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلاً
“Allah tidak akan memberikan jalan kepada orang kafir untuk menguasai kaum mukminin.” (QS. an-Nisa: 141)
[LM, Hw]