Tarif PPN Akan Naik Lagi, Semakin Menyengsarakan,
Oleh: Dinar Rizki Alfianisa
Lensa Media News–Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartato memastikan bahwa tidak ada penundaan dalam kebijakan kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% pada tahun 2025.
Sebagaimana diketahui sebelumnya tarif PPN saat ini sebesar 11% sejak 2022, atau telah naik sesuai ketentuan Undang-Undang tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) dari sebelumnya 10%.
Ketentuan kenaikan tarif PPN ini karena sudah keputusan masyarakat yang memilih pemerintahan baru dengan program-program keberlanjutan dari Presiden Joko Widodo (cnbcindonesia.com, 8/3/2024).
PPN adalah pajak pertambahan nilai atau biaya tambahan yang harus dibayarkan oleh konsumen saat membeli barang. Namun, tidak semua hal yang dibeli dikenakan PPN, melainkan hanya Barang Kena Pajak (BKP).
Meski subjek PPN adalah perusahaan, namun tarif tersebut dipungut kepada konsumen. Jadi perusahaan hanya bertindak sebagai pemungut pajak perantara konsumen dan pemerintah.
Beberapa transaksi yang dikenakan PPN adalah pembelian rumah, kendaraan bermotor, layanan internet, sewa toko dan apartemen hingga jasa langganan netflix Cs.
Kenaikan tarif PPN jelas akan berdampak pada kenaikan harga barang-barang yang dikonsumsi oleh masyarakat terutama yang tersedia dilayanan pasar-pasar modern. Begitu juga layanan jasa. Hari ini hampir seluruh masyarakat kita menggunakan jasa internet yang tentu berdampak juga pada kenaikan harga kuota internet.
Pajak Membebani Rakyat
Dalam sistem kapitalisme pajak adalah salah satu sumber utama pendapatan negara selain utang. Sudahlah kita dapati hari ini harga-harga bahan pokok naik, wacana kenaikan PPN ini tentu menambah beban rakyat.
Dalam sistem ini pajak menjadi wajib bagi setiap rakyat. Padahal sumber daya alam di negeri ini sangat melimpah ruah. Lebih dari cukup kekayaan alam di negeri ini untuk memenuhi kebutuhan hidup seluruh rakyatnya.
Namun keserakahan para penguasa dan para oligarki menjadikan rakyat ini bak pembantu dirumahnya sendiri. Rakyat dibiarkan berjuang untuk bisa mandiri dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sementara mereka dengan semena-mena menikmati kekayaan alam negeri ini. Belum lagi beban pajak yang mereka berikan kepada rakyat.
Pajak Dalam Islam
Istilah pajak juga dikenal dalam islam. Meskipun diperbolehkan namun pelaksanaannya harus sesuai rambu-rambu syariah
Pajak dalam Islam tentu sangat berbeda dengan yang diberlakukan oleh sistem hari ini. Pajak hanya diberlakukan ketika negara benar-benar dalam kondisi sulit keuangan, baitul mal kosong dan negara tak mampu memenuhi kewajiban pada rakyatnya. Dari aspek subjek, objek dan cara pemungutannya pun jelas berbeda.
Sedangkan negara sendiri mendapatkan pemasukan harta diantaranya dari (1) zakat, (2) shadaqah, (3) infaq, (4) ghanimah, (5) fa’i, (6) kharaj, (7) jizyah, (8) waqaf, (9) harta kempemilikan umum yang dikelola negara, dan lain sebagainya.
Pajak dalam Islam sendiri hanya bersifat sementara bukan hal yang bersifat terus menerus seperti dalam kapitalisme. Jika baitul mal sudah mampu kembali memenuhi kebutuhan rakyat maka pajak tidak dipungut lagi bagi rakyat.
Jadi apabila menjadikan pajak sebagai sumber utama penerimaan negara seperti dalam kapitalisme hari ini maka hal itu sangat menyengsarakan bagi rakyat. Beban rakyat menjadi sangat berat dan akan berpotensi munculnya kemiskinan tersistem.Wallahualam. [LM/ry].