Adu Banteng dan Lemahnya Sistem Transportasi ala Kapitalisme
Oleh: Lulu Nugroho
LenSa MediaNews__Tabrakan kereta api yang kembali terjadi, telah mengoyak duka mendalam. Beberapa korban nyawa dan luka serius, menunjukkan bukti bahwa sistem transportasi di negeri ini memerlukan perubahan. Banyak faktor penyebab, bisa human error, system error atau hal lain. Akhirnya tiga petugas diperiksa, buntut kecelakaan pada tabrakan Kereta Commuterline Bandung Raya dengan Kereta Api (KA) Turangga pada Jumat (5-1-2024) pukul 06.03 WIB. Kecelakaan terjadi di jalur tunggal (single track) km 181+700 petak jalan antara Stasiun Haurpugur dengan Stasiun Cicalengka.
Media asing, Agence France-Presse (AFP) menyebutkan dalam laporannya bahwa kecelakaan transportasi adalah hal yang lumrah terjadi di Indonesia. “Negara kepulauan yang luas di mana bus, kereta api dan bahkan pesawat sering kali sudah tua dan tidak dirawat dengan baik.”
Hal yang sama dilaporkan BNN Breaking bahwa penyebab kecelakaan tersebut akibat infrastruktur yang sudah menua. Menurut artikel tersebut, insiden ini menyoroti kebutuhan mendesak untuk merombak infrastruktur perkeretaapian di Indonesia. (Cnbcindonesia, 5-1-2024)
Tidak hanya itu, terdapat perbedaan sinyal yang memengaruhi perbedaan cara pengoperasiannya. Di Stasiun Cicalengka masih menggunaan sinyal blok mekanik, sedangkan di Stasiun Haurpugur, sinyal elektrik. Maka dari itu, petugas pengatur perjalanan KA (PPKA) akan mengatur perjalanan KA di dua stasiun ini pun harus memiliki keterampilan mengoperasikan persinyalan yang berbeda ini, tutur Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat, Djoko Setijowarno.
Penggunaan jalur tunggal pun dianggap sebagian masyarakat, berpotensi menimbulkan tabrakan. Padahal sejak Februari 2022, Direktur Prasarana Perkeretaapian di Kemenhub, Harno Trimadi, pernah menyebut proyek jalur ganda akan memperpendek waktu tempuh dan berpotensi meningkatkan jumlah penumpang hingga 25%. Tidak disebutkan faktor keamanan di situ. Akan tetapi belum ada perubahan kondisi jalur kereta, sesuai kebutuhan masyarakat.
Mitigasi pun menjadi hal penting saat terjadi musibah. Pertolongan segera dapat meminimalisir jumlah korban. Akan tetapi pada kasus ini, bantuan lambat datang. Diduga karena sulitnya lokasi kecelakaan. Ada yang luput dari kebijakan penguasa, bahwasanya pembangunan infrastruktur yang banyak sepanjang tahun-tahun belakangan ini, masih belum menyentuh kepentingan masyarakat. Maka perlu upaya sistematis untuk mengelola urusan umat, sebagai tanggung jawab kepemimpinan di hadapan Allah SWT.
Jaminan Keamanan dalam Transportasi Islam
Masyarakat membutuhkan transportasi yang aman. Karenanya khalifah akan mengerahkan segenap daya untuk membentuk tenaga ahli yang amanah, dari sumber daya manusia yang ada. Termasuk sistem yang juga menyelamatkan. Hal ini sering diabaikan dalam kapitalisme, yang berorientasi kepada materi hingga mengabaikan keselamatan penumpang.
Islam melindungi nyawa, sehingga akan optimal dalam menjamin keselamatan penumpang dalam berbagai kondisi, termasuk pada moda transportasi. Pembangunan infrastruktur yang ada, sejalan dengan kebutuhan dan kemaslahatan rakyat, bukan pemilik modal.
Dalam Islam nyawa seseorang sangat berharga. Seperti dalam hadits berikut: dari Al-Barra’ bin Azib radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللَّهِ مِنْ قَتْلِ مُؤْمِنٍ بِغَيْرِ حَقٍّ
“Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibandingnya terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” (HR Nasai 3987, Turmudzi 1455, dan disahihkan Al-Albani)
Maka negara bertanggung jawab menyediakan sistem dan sarana transportasi yang aman, sebagaimana tugas pemimpin menjadi pengurus (raa’in) dan perisai (junnah) bagi rakyatnya. Sebagaimana dahulu Khalifah Umar Bin Khaththab memperhatikan urusan jalan karena khawatir seekor keledai terperosok di sana.
Para khalifah sesudahnya pun telah membangun jalur kereta api, untuk memudahkan jemaah haji. Hejaz Railway atau jalur kereta api Hijaz yang dibangun pada masa pemerintahan Utsmaniyah Turki, yakni Khalifah Abdul Hamid II. Jalur ini terbentang antara Damaskus-Amman sampai ke Madinah. Para ahli memperkirakan hanya butuh 5 hari dari Istanbul ke Makkah untuk perjalanan yang biasanya memakan waktu 2 bulan.
Tidak hanya untuk kemaslahatan para haji, jalur tersebut pun membuat masyarakat mudah melakukan perjalanan ke beberapa tempat. Maka mereka pun berkontribusi memberikan donasi, untuk pembangunannya. Saat itu, dunia Islam datang untuk menyelamatkan seluruh perkara umat.
Maka tak ayal muslim yang tinggal di luar wilayah Utsmani pun memberikan sumbangan besar. Termasuk muslim Maroko, hingga Mesir, India, Afrika Selatan, dan Kazan, yang diduduki dan dijajah oleh Eropa. Ikatan akidah menyatukan, hingga mereka berlomba-lomba mewujudkan kebaikan.
Kampanye donasi ini akhirnya berubah menjadi proyek tiada tara, yang menunjukkan pentingnya persatuan umat, kesetiaan kepada khalifah dan meninggikan agama Allah. Bahkan warga nonmuslim Kekhilafahan Utsmaniyah, juga tidak ketinggalan memberikan sumbangsihnya. Untuk setiap donasi, Khalifah memberikan tanda terima kasih berupa Medali Kereta Api Hijaz.
Berbagai upaya kebaikan dilakukan, termasuk di antaranya menutup setiap palu dengan kain kempa untuk menghindari suara bising yang timbul, demi menghormati Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam, ketika membangun Stasiun Madinah. Begitu pula untuk menghindari suara yang berlebihan, hal yang sama dilakukan pada roda kereta, yang juga dilapisi dengan kain kempa.
Sungguh umat terbaik, memang hanya akan lahir dari kepemimpinan yang terbaik pula. Yakni pemimpin yang menerapkan Islam kaffah, sehingga mewujudkan rahmat bagi semesta alam.
Sebagaimana rel-rel era Khilafah Utsmaniyah di Yordania yang menyampaikan: “Haza min hayrati emiri’l-mü’minîn Sultan Abdülhamid Han Gazi azzehu ve nasarahu” (Rel adalah amal atas nama Gazhi Sultan Abdülhamid. Semoga Allah memberkati dan membantunya ).