Indonesia Darurat Kesehatan Mental, Butuh Solusi Total!
Oleh Ummu Zhafran, pegiat literasi
Ke pasar membeli benang pintal
Tak lupa kue dan bolu kukus
Indonesia darurat kesehatan mental
Butuh solusi total, bukan pinjam dulu seratus!
Lensa Media News–Anda tersenyum membaca pantun di atas? Selamat, itu tandanya mental Anda sehat. Bukan apa-apa, belum lama ini Kementerian Kesehatan merilis kondisi negeri darurat kesehatan mental. Artinya semakin banyak orang yang tak mampu lagi tersenyum bahkan untuk humor yang sederhana.
Mengutip dari laman detikhealth, catatan kasus bunuh diri di tahun 2022 menyentuh angka 826 orang. Angka ini meningkat 6,37 persen dibandingkan 2018 yakni 772 orang. Kasus bunuh diri di Indonesia juga relatif jauh lebih tinggi dibandingkan rekor kasus terbanyak Singapura sepanjang 2023 yang sejauh ini tercatat mencapai 476 korban.
Parahnya lagi, karena belakangan banyak remaja justru yang melakukan percobaan bunuh diri dan atau melukai diri sendiri. Bukan tanpa sebab, melainkan dipicu sulitnya menahan impulsivitas yang tidak bisa dikendalikan. Seolah tiada solusi lain selain mengakhiri hidup sendiri. Hal ini diungkap dr. Khamelia Malik dari Persatuan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa Indonesia (PDSKJI) (detikhealth, 13/10/2023).
Generasi yang lahir tahun delapan puluh dan sembilan puluhan tentu ingat betapa kehidupan di masa remaja mereka masih sederhana. Sarana komunikasi terbatas, platform sosial media bahkan masih ide yang mengawang di angkasa. Tetapi kewarasan terjaga, masyarakat hidup saling menjaga, dan minim kasus bunuh diri.
Bandingkan kini, canggihnya teknologi, berlimpahnya sarana dan prasarana hidup tak linier dengan kesehatan mental generasi. Masyarakat pun seolah hidup sendiri-sendiri minus peduli dan empati. Jelas ada yang bergeser, tepatnya ada pemahaman dan sudut pandang yang berubah. Kalau dulu masih kental dengan rasa takut pada Sang Pencipta dan malu dengan yang di sekitar, sekarang tidak lagi. Masih perlu bukti?
Apa yang terjadi kiranya sudah lebih dari cukup. Pemahaman akan konsep haramnya membunuh diri sendiri dan dahsyatnya hisab berupa azab di akhirat perlahan menguap. Hal yang sama juga terwujud di masyarakat. Sikap peka dan empati lalu bertindak meringankan kesusahan orang lain karena menganggap saudara sendiri lambat laun lenyap.
Persoalannya, mengapa? Jawabannya sederhana, sebab nilai-nilai agama yang mengatur perbuatan halal dan haram sudah lama terabaikan. Pahala, dosa, surga dan neraka sebatas momok yang berlaku hanya bagi yang masih meyakini. Bahkan lebih jauh, perbedaan antara keimanan dan kekufuran setiap waktunya terus menipis bagaikan sehelai tisu. Di sinilah sekularisme menemukan relevansinya. Ya, paham yang menjadikan agama tak dibiarkan mengatur dalam kehidupan.
Lantas ke mana kita bisa berharap, pada negara? Sayang sungguh disayang, bahkan ketika kondisi sudah darurat belum terlihat langkah serius yang dilakukan pihak yang berwenang baik yang sifatnya pencegahan mitigasi maupun antisipasi. Haruskah menunggu hingga angka bunuh diri terus meningkat?
Seharusnya tidak. Bila sekularisme hanya melahirkan kerapuhan mental hingga darurat, maka Islam sebaliknya. Islam mampu mewujudkan generasi dan masyarakat yang sehat dan kuat mental, serta mencegah maraknya kerapuhan dan gangguan kesehatan mental sebagaimana kita saksikan hari ini. Islam mewujudkan profil kepribadian Islam yang tangguh pada diri generasi. Tidak hanya memiliki kemampuan dan ketahanan menghadapi berbagai macam tekanan hidup, serta mengalahkan berbagai hambatan, tetapi mereka juga kukuh dalam menegakkan kebenaran dan keadilan, juga istimewa dalam amal dan kebaikan.
Allah Swt. berfirman,“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka dan kepada Tuhanlah mereka bertawakal. (yaitu) Orang-orang yang mendirikan salat dan yang menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. “(QS Al Anfal:2-3).
Imam Ibnu Katsir menjelaskan dalam kitab tafsirnya, bahwa sifat orang yang beriman dengan sesungguhnya, adalah yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hatinya karena takut kepada-Nya, lalu mengerjakan semua perintah-Nya dan meninggalkan larangan-larangan-Nya.
Pada saat yang sama, tegaknya sistem Islam kafah akan mewujudkan kehidupan yang sesuai dengan fitrah manusia, menenteramkan, dan menyejahterakan. Minimnya gangguan mental bahkan hampir tidak ada, merupakan fakta yang tak terbantahkan dalam catatan sejarah kejayaan Islam.
Tetapi semua hal tersebut di atas hanya akan bisa terwujud dengan penerapan syariat Islam secara totalitas di tengah kehidupan masyarakat. Untuk itu tinggalkan sekularisme sekarang juga! Wallahua’lam. [LM/ry]