Karhutla Kian Membara, Dimana Peran Negara
Oleh : Lia Aliana (Aktivis Muslimah)
LenSa Media News _ Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki hutan dan lahan terluas di dunia. Berdasarkan data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), total luas hutan di Indonesia mencapai 125,76 juta hektare (ha) pada 2022, atau setara dengan 62,97% dari luas daratan Indonesia. Maka tak heran jika Indonesia mendapat julukan sebagai paru-paru dunia.
Namun sangat disayangkan julukan sebagai paru-paru dunia kini tinggallah angan, sebab hutan di Indonesia telah rusak akibat kebakaran hutan dan lahan. Dikutip dari laman Katadata.co.id ((18/8/2023), menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), selama periode Januari-Juli 2023 luas kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Indonesia sudah mencapai 90.405 hektare (ha).
Palangkaraya misalnya, tercatat hingga Agustus 2023 karhutla mencapai 87 kali. Bahkan dalam kurun waktu satu pekan ini mengalami peningkatan (Kalteng.co, 25/8/2023). Karhutla ini bukan hanya terjadi di Kalimantan saja, melainkan hampir seluruh wilayah Indonesia memiliki potensi terjadinya kebakaran hutan dan lahan.
Melihat banyaknya kasus karhutla yang terjadi tampaknya tidak bisa dianggap sepele. Sebab hal tersebut berdampak pada mobilitas masyarakat. Di beberapa wilayah, kobaran api akibat kebakaran hutan meluas hingga ke tepi jalan, sehingga membahayakan pemukiman warga. Belum lagi asap yang ditimbulkan sangat mengancam kesehatan masyarakat.
Kapitalisasi Hutan Pangkal Persoalan
Peristiwa karhutla selalu terjadi setiap tahun. Akan tetapi, solusinya hanya berkutat dalam perkara teknis tanpa menyentuh akar masalah. Seperti membuat hujan buatan, penyemprotan titik api, pengadaan tangki air, mitigasi bencana. Faktanya, kejadian serupa kembali berulang. Maka pangkal persoalan karhutla bukan hanya sebatas faktor alam. Tetapi kesengajaan dan keserakahan manusialah yang menjadi faktor utama.
Sekularisme yang merupakan asas kapitalisme telah memalingkan peranan agama dari kehidupan. Mengakibatkan hilangnya rasa kemanusiaan, kepedulian, tumbuhnya sikap hedonis berujung pada ketamakan dan menghalalkan segala cara untuk meraih keuntungan sebanyak-banyaknya demi kepentingan pribadi. Semua itu merupakan tabiat dari sistem kapitalisme yang diadopsi di negeri ini.
Disisi lain, negara seharusnya mampu menunjukkan taringnya di depan para konglomerat. Namun sebaliknya, pemerintah justru tunduk dan memfasilitasi para pemilik modal. Hal ini terlihat dengan keberpihakan negara kepada para korporat berupa kebijakan memberikan izin untuk mengelola hutan dan lahan secara bebas, sesuka hati hingga berujung eksploitasi.
Dilansir dari, Kompas TV (20/8/2023), Direktur Jenderal Penegakan Hukum KLHK, Rasio Ridho Sani menyebut pihaknya telah melakukan gugatan terhadap 22 korporasi ataupun perusahaan penyebab kebakaran hutan dan lahan di Indonesia.
Kondisi ini diperparah dengan sistem sanksi yang lemah. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa hukum di negeri ini bisa dibeli, sehingga wajar ketika tajam ke bawah namun tumpul ke atas. Meskipun ada penegak hukum namun tetap saja tidak mampu memberikan efek jera. Justru membuka peluang penyalahgunaan konsesi yang diberikan.
Dengan demikian, jelaslah karhutla bukan semata-mata bencana alam melainkan kapitalisasi hutan oleh para kapitalis dan abainya negara terhadap penjagaan hutan
Peran Negara Atasi Karhutla
Dalam Islam hutan merupakan salah satu sumber daya alam yang kepemilikannya bersifat umum, pemanfaatannya dinikmati oleh rakyat dan tidak membahayakan lingkungan. Oleh sebab itu pengelolaannya diserahkan kepada negara bukan bekerja sama dengan pihak asing atau bahkan dikelola sepenuhnya oleh asing (privatisasi).
Berdasarkan hadis Nabi Muhammad SAW, “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput, api dan air” (HR. Abu Dawud dan Ahmad).
Maka peran negara sangat penting dalam pengelolaan, pengawasan dan pemberian sanksi.
Dalam sistem pemerintahan Islam, fungsi pengawasan dilakukan oleh lembaga peradilan yang tugasnya memastikan terpenuhinya hak masyarakat secara menyeluruh. Selain itu, melakukan pemantauan langsung atau sidak ke lapangan (hutan) dan menyelesaikan tindak pidana jika terjadi pembakaran hutan, pencurian kayu ataupun perusakan lahan.
Adapun dalam hal sanksi, negara dengan tegas memberlakukan hukuman ta’zir yaitu hukuman yang ditentukan oleh khalifah tentunya berdasarkan hukum syara dan hasil ijtihad. Bisa berupa penjara, denda hingga hukuman mati, tentu dengan mempertimbangkan dampak yang ditimbulkan. Pastinya hukuman ini harus menimbulkan efek jera agar tidak terjadi kerusakan-kerusakan hutan yang terus meluas dan berulang.
Sungguh kesempurnaan Islam mampu menyelesaikan permasalahan karhutla dari cabang hingga akarnya. Bahkan sistem Islam memiliki seperangkat cara dalam pencegahannya baik secara internal maupun eksternal. Oleh sebab itu persoalan karhutla hanya bisa diselesaikan tuntas dengan penerapan Islam secara total dalam institusi negara yaitu Daulah Khilafah Islam.
Wallahu a’lam bish shawab
(LM/SN)