Gelar Raja Importir Bawang Putih Tidak Pantas Jadi Kebanggaan
Oleh: Sururum Marfuah Hash
(Mahasiswi Institut Pertanian Bogor)
LensaMediaNews- Berdasarkan hasil kompilasi perdagangan luar negeri seluruh dunia yang dihimpun oleh UN Comtrade (Lembaga PBB) mencatat bahwa pada tahun 2018, Indonesia memecahkan rekor sejarah sebagai negara importir bawang putih terbesar di dunia. Dalam empat tahun terakhir saja, volume impor bawang putih mencapai 582.994 ton, dengan rincian 580,84 ribu ton berasal dari Negara China (cnbcindonesia.com, 18/4/2019).
Tentunya kita perlu bertanya, apa yang sebenarnya sedang terjadi? apabila ditinjau dari segi produksi, secara kuantitas dan kualitas, bawang putih Indonesia saat ini memang tidak mampu untuk bersaing dengan bawang putih impor, bahwa bawang putih merupakan komoditas hortikultura hari panjang yakni yang membutuhkan penyinaran lebih dari 12 jam, dimana kondisi penyinaran seperti ini sulit untuk didapatkan di Indonesia namun sangat mudah di China. Wajar jika secara produktivitas Indonesia kalah yakni 8-9 ton/ha (kompas.com, 1/3/2019), berbeda jauh dengan China yang bahkan mencapai 25,4 ton/ha (Khan et al., 2018).
Ketika fenomena impor bawang putih ini masih berlanjut hingga sekarang dengan nilai impor yang terus meningkat, bukan berarti kita larut dalam kewajaran saja. Secara fakta produktivitas dan kualitas bawang putih lokal memang berbeda jauh dan masih sangat membutuhkan inovasi dan riset-riset yang mendukung dalam hal penelitian bawang putih untuk dapat menghasilkan bawang putih yang mampu bersaing baik secara harga maupun kualitas, namun terdapat hal mengakar yang perlu untuk diselesaikan terlebih dahulu yaitu “Political Will” sebagai kekuatan politik yang tentunya ini tidak akan pernah bisa terlepas dari peran pemerintah sebagai pemegang kebijakan.
Pemerintah mampu memegang kendali untuk memanfaatkan lahan-lahan yang tidak dipakai. Pemerintah memiliki kendalli dalam mendukung riset sehingga bawang putih mampu menghasilkan varietas–varietas yang produktivitasnya tinggi. Pemerintah memiliki kendali dalam mengatur regulasi dengan tepat dalam distribusi komoditas bawang putih.
Political Will inilah yang akan menentukan eksistensi suatu negara, apakah hanya menjadi negara yang sekedar ikut-ikutan dengan jebakan ekonomi yang bebas atau justru mampu membentuk kedaulatannya sendiri. Meskipun para ilmuwan telah bekerja keras dalam melakukan riset, mungkinkah dapat diterapkan diseluruh wilayah tanpa ada upaya dari pemerintah? mungkinkah dapat dikembangkan tanpa adanya dorongan modal dari pemerintah untuk para pemula dan petani? tentu tidak. Karena konsep global telah berdiri pada prinsip bahwa yang kuat dalam modal lah yang akan bertahan. Apakah petani dan rakyat kita telah kuat dalam modal sehingga mampu untuk bersaing?
Political will ini tidak akan mampu diwujudkan pada politik era demokrasi, dimana pemerintah sendiri menjadi kaki tangan kapitalis yang telah siap untuk memperlancar usahanya dengan segenap hukum yang dibuat untuk melindungi kapitalis. Political will ini hanya mampu dilakukan oleh Khilafah yang akan menerapkan sistem perekonomian dan distribusi pangan yang sesuai dengan syariat Islam, sehingga Daulah (negara) Islam akan berupaya agar kedaulatan pangan terwujud, dimana dari segi mental masyarakat dan mekanisme produksi dari hulu ke hilir akan diriayah atau diurusi oleh negara.
Wallahu a’ lam biashowab.
[LS/Ry]