Serapan Anggaran Rendah, Saatnya Berbenah!
Oleh : Ummu Zhafran
(Pegiat Literasi)
Lensa Media News – Bila Anda menyaksikan roda ekonomi seolah berputar lebih cepat, fix, Anda berada di akhir tahun. Lihat saja banjir promo di mana-mana. Pusat-pusat perbelanjaan pun berlomba menggelar ajang ‘beli satu dapat dua.’ Aktivitas di kantor-kantor pemerintahan berderap kencang. Proyek-proyek pembangunan maupun jalan dan jembatan juga dipacu untuk bisa selesai laiknya sinetron kejar tayang. Maklum, sebab selain momen cuci gudang, akhir tahun juga identik dengan waktunya tutup buku anggaran pemerintahan selama satu tahun.
Bicara mengenai tutup buku, bukan rahasia lagi bahwa semua rencana anggaran kegiatan yang telah ditetapkan untuk satu tahun berjalan harus terealisasi di tahun itu juga. Bila terdapat kegiatan dalam bentuk proyek atau yang lainnya tidak keburu selesai selama satu tahun tersebut, maka kegiatan terancam mangkrak menunggu ditetapkannya tahun anggaran baru. Hal yang cukup memprihatinkan, mengingat kepentingan rakyat bukan tak mungkin jadi taruhannya. Padahal aktivitas suatu pemerintahan mana pun juga di dunia idealnya semata untuk kemaslahatan rakyat, tidak yang lain.
Sayangnya kabar memprihatinkan justru datang dari lembaga negara yang mengurusi keuangan. Tercatat, hingga akhir September 2022 belanja negara yang terealisasi Rp1.913,9 triliun. Berarti baru terserap 61,6 persen dari target Rp3.106,4 triliun. Artinya, masih ada sisa belanja Rp1.000 triliun lebih yang harus dihabiskan dari Oktober-Desember 2022. (cnnindonesia, 28/10/2022) Tidak heran bila Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Febrio Nathan Kacaribu di laman berita yang sama berpesan, meski belanja harus dihabiskan, bukan berarti jor-joran untuk kegiatan yang tidak berkualitas.
Setuju. 1000 triliun sungguh angka yang fantastis. Betapa sayang jika untuk sekedar mengejar deadline tutup buku, lalu dibelanjakan membabi buta. Sebab, lagi-lagi rakyat berisiko jadi korban. Karena tak mustahil hal itu membuka celah terjadinya tindak manipulasi anggaran berlatar belakang semangat ‘asal habis.’ Miris.
Di sisi lain, tak salah kiranya jika terbetik tanya di benak publik. Jika tersisa sedemikian besar mengapa subsidi harus dicabut? Kenapa pula banyak pos anggaran di berbagai kementerian dan lembaga kemudian dipangkas? Namun entah kapan seluruh tanya ini bisa terjawab mengingat penerapan demokrasi-kapitalisme yang berlaku di negeri ini memang meniscayakan pemenuhan kebutuhan rakyat bukan yang jadi prioritas melainkan kepentingan pribadi dan oligarki. Dalam kapitalisme, intervensi pemerintah dilakukan secara besar-besaran untuk kepentingan-kepentingan pribadi. (Wikipedia)
Tak pelak, apa yang terjadi saat ini mengingatkan akan pengaturan anggaran belanja dalam Islam yang justru menjamin pemenuhan kebutuhan setiap individu rakyatnya, tanpa kecuali. Hal yang sangat bertentangan dengan kapitalisme. Wajar, karena aturan lslam datang dari Sang Maha Pencipta yang mustahil zalim terhadap setiap makhluk-Nya.
Sistem pemerintahan Islam warisan Rasulullah saw. dengan Khalifah sebagai kepala negara dalam menetapkan pos pembelanjaan, misalnya. Maka pelaksanaannya mengikuti enam kaidah utama. Pertama, khusus untuk harta di Baitul Mal yang berasal dari zakat. Pos pengeluarannya wajib hanya untuk delapan golongan sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur’an. Kedua, wajib membelanjakan dari Baitul Mal untuk keperluan jihad dan menutup kebutuhan orang-orang fakir dan miskin secara terus menerus. Ketiga, wajib mengeluarkan dari Baitul Mal yang sifatnya tetap atas gaji para pegawai yang telah berbakti pada negara yaitu: pegawai negeri, hakim, tentara, dan sebagainya. Keempat, pos pembelanjaan untuk pembangunan sarana kemaslahatan rakyat yang bersifat wajib, dalam arti, jika sarana tersebut tidak ada, maka akan menimbulkan kemudaratan bagi rakyat. Seperti pembangunan jalan, jembatan, sekolah, rumah sakit, masjid, air bersih dan lainnya. Kelima, pos pembelanjaan wajib yang bersifat darurat, yaitu untuk menanggulangi dampak dari musibah atau bencana alam seperti banjir, gempa, dan tanah longsor yang menimpa rakyat. Keenam, pengeluaran untuk pembangunan sarana kemaslahatan rakyat yang bersifat tidak wajib, dalam arti, sarana tersebut hanya bersifat penambahan dari sarana yang sudah ada. (Al Amwal, Abdul Qadim Zallum)
Jelas terlihat, setiap pengeluaran sudah ditetapkan tujuannya oleh syariat dan dijamin pelaksanaannya oleh negara. Bila terjadi pelanggaran oleh penguasa, tak tanggung-tanggung pastinya dinilai sebagai maksiat alias perbuatan dosa dan layak dikenakan sanksi. Maka perkara serapan anggaran yang rendah tentu tak jadi persoalan karena penetapan anggaran disandarkan pada syariat yang tak lekang oleh zaman. Bukan pada keputusan yang bisa berubah setiap tahunnya. Alhasil, ingin anggaran optimal terserap untuk kemaslahatan rakyat? Saatnya berbenah, saatnya menoleh pada Islam. Bukti nyata kasih sayang Allah untuk segenap umat manusia, tanpa kecuali.
Wallahu a’lam.
[LM/nr]