Dibalik Maraknya Para Pengemis
Banyaknya peminta-minta menjadi hal biasa saat menjelang bulan puasa. Dikutip Radar Cirebon pada 1/5/2019, sepuluh hari menjelang bulan suci Ramadan, pengemis dadakan mulai marak di wilayah Kabupaten Indramayu bagian Barat. Ironisnya, para peminta-minta ini tidak hanya kalangan manula maupun yang mengalami cacat tubuh, melainkan juga anak-anak.
Bermunculannya para peminta-minta apakah musiman ataupun tidak, hal ini menunjukkan betapa kesejahteraan menjadi ‘barang mahal’ di era sekulerisme. Anak-anak, manula, perempuan dan penyandang disabilitas memilih profesi sebagai pengemis.
Sungguh kondisi ini tidaklah kita temukan di era Khilafah Islam. Pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz (99-102 H/818-820 M), meskipun masa Kekhilafahannya cukup singkat (hanya 3 tahun), umat Islam terus mengenangnya sebagai khalifah yang berhasil menyejahterakan rakyat. Yahya bin Said, seorang petugas zakat masa itu, berkata, “Ketika hendak membagikan zakat, saya tidak menjumpai seorang miskin pun. Umar bin Abdul Azis telah menjadikan setiap individu rakyat pada waktu itu berkecukupan.” (Ibnu Abdil Hakim, Sirah Umar bin Abdul Azis, hlm. 59).
Pada masanya, kemakmuran tidak hanya di Afrika, tetapi juga merata di seluruh penjuru wilayah Khilafah Islam, seperti Irak dan Bashrah. Begitu makmurnya rakyat, Gubernur Bashrah saat itu pernah mengirim surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Azis, “Semua rakyat hidup sejahtera sampai saya sendiri khawatir mereka akan menjadi takabur dan sombong.” (Abu Ubaid, Al-Amwal, hlm. 256).
Begitulah kesejahteraan di era Khilafah Islam. Sungguh kondisinya saat ini sangat jauh dari kata ‘sejahtera’ akibat penerapan sistem ekonomi kapitalis. Maka sudah saatnya umat kembali kepada sistem Islam. Karena hanya sistem Islam yang mampu menyejahterakan.
Wallahu a’lam[].
Oleh: Tawati
[Lm/Hw/Fa]