Klitih : Jangan Hanya Salahkan Pelaku Saja!
Oleh: Harumi
(Aktivis Dakwah Milenials)
LenSa Media News – Aksi kejahatan kriminal remaja alias klitih yang baru-baru ini mencuat kembali karena menewaskan seorang pemuda 18 tahun. Korban adalah putra seorang anggota DPRD Kebumen. Menurut keterangan kepolisian, korban terluka di bagian mukanya akibat kekerasan benda tajam yang diduga menggunakan gear dan tali.
Polda DIY mencatat di tahun 2020, ada 52 kasus klitih dengan 91 pelaku diproses hukum. Kemudian sepanjang 2021 jumlahnya meningkat menjadi 58 kasus dengan 102 pelaku diproses hukum. Polda DIY menyebut sebagian besar atau 80 orang pelaku klitih pada 2021 berstatus pelajar (databoks.katadata.co.id 6/4/2022).
Aksi ini dilakukan secara berkelompok (geng). Walau belum diketahui secara pasti jumlah dan nama geng yang sudah beredar di masyarakat. Mirisnya, sebagian besar kejahatan jalanan ini dilakukan oleh sekelompok murid dari SMA ataupun SMK bahkan ada tersangka pelaku klithih yang usia SMP.
Tak jarang geng-geng ini melakukan aksi kejahatan kriminal tersebut karena ingin mencari eksistensi atau popularitas di media sosial. Klithih sendiri dilakukan untuk mencari target musuh untuk disakiti, disiksa bahkan dibunuh. Tanpa ada kesalahan sekalipun. Dengan kata lain aksi tersebut selain menyebarkan ancaman juga menyebarkan ketakutan dan keresahan kepada masyarakat.
Masa remaja identik dengan masa pencarian jati diri atau identitas dirinya. Jika mengacu pada teori patologi sosial aksi ini dinilai hanya sebagai Juvenile Delinquency atau kenakalan remaja, sekalipun kenakalannya berujung pada aksi kriminal . Jika hanya disebut sebagai remaja delinquen, maka tak heran jika beberapa pihak hanya menyalahkan pelaku dan keluarganya yang dinilai gagal dalam mendidik anak. Padahal tentu tidak demikian.
Dalam sistem sekuler liberal hari ini sosok pemuda yang semestinya menjadi lokomotif perubahan, nyatanya malah menjadi “monster” yang menebar ketakutan di tengah masyarakat. Sebenarnya hal ini tidak terlepas dari diterapkannya kapitalisme oleh penguasa. Kapitalisme memandang bahwa masyarakat terbentuk dari sekumpulan individu-individu sehingga tidak memandang masyarakat dengan pandangan yang utuh. Adapun kejahatan kriminal merupakan hal yang dianggap remeh karena dianggap sebagai pelanggaran yang dilakukan oleh individu-individunya saja. Oleh karena itu tak heran jika negara pengemban kapitalisme di dunia hingga hari ini kewalahan dalam mengatasi tingginya kriminalitas.
Peremehan ini hingga memunculkan snowball effect barulah penegak hukum akan turun tangan, akan tetapi semuanya sudah terlambat, hingga seringkali masyarakat dipaksa berdamai dengan kondisi yang menakutkan ini. Tentu hal ini tidak bisa dibiarkan. Harus ada keberanian untuk mengubah sistem yang ada hari ini dengan yang lebih baik.
Islam memiliki pandangan sendiri tentang konsep masyarakat yang hendak diwujudkan yang tentu jauh lebih baik dibanding konsep masyarakat ala kapitalisme. Islam mengintegrasikan tiga pilar penting, yakni aspek ruhiyyah, muhasabah dan ‘uqubah (Lihat: QS Ali ‘Imran [3]: 111; QS at-Taubah [9]: 71; QS al-Hajj [22]: 41).
Aspek ruhiyyah, masyarakat Islam merupakan masyrakat yang memiliki kesadaran hubungan masing-masing individu dengan Allah ‘Azza wa Jalla . Inilah yang menjadi dorongan bagi setiap individu untuk menjalankan apapun perintah Allah dan meninggalkan larangannya. Karena aspek ruhiyyah inilah masyarakat meyakini bahwa setiap amalnya akan dihisab oleh Allah sehingga mereka berbondong-bondong untuk menjadi insan yang terbaik di sisi Allah. Mereka menjaga diri dari pintu-pintu kemaksiatan semata-mata karena menginginkan rida Allah.
Aspek Muhasabah atau kontrol oleh masyarakat, atau lebih dikenal dengan amar ma’ruf nahi munkar tentunya. Ini merupakan aspek penting yang akan mengeliminasi unsur-unsur rusak dari dan di tengah-tengah masyarakat. Jika aspek pertama belum mampu mengendalikan individu tertentu untuk sejalan dengan sistem Islam, maka aspek kedua ini akan ‘memaksa’ individu tersebut untuk tetap berjalan di atas pemikiran dan sistem. Dengan begitu, akibat buruk dari pelanggaran yang dilakukan oleh sebagian individu tidak mudah menyebar dan membesar hingga berlarut-larut.
Aspek ‘uqubah, merupakan aspek terakhir penyempurna bagi aspek pertama dan kedua. Aspek ini memiliki dua berfungsi, pertama sebagai zawajir (pencegah). Siapa saja yang terbukti melakukan penyimpangan pasti mendapat sanksi tegas. Sanksi ini akan memberikan efek jera bagi pelaku juga selainnya. Ini merupakan aspek yang efektif untuk menghentikan berbagai bentuk kejahatan yang tidak dapat dikendalikan oleh aspek pertama dan kedua. Kedua, sebagai jawabir, artinya bagi seorang muslim yang melakukan kejahatan tersebut, lalu mendapat sanksi, maka sanksi ini akan menjadi penebus kesalahannya kelak di akhirat.
Perlu diketahui, aspek yang ketiga ini memiliki karakter yang berbeda dari aspek pertama dan kedua. Aspek pertama hanya ditegakkan oleh individu. Aspek kedua wajib ditegakkan oleh individu, jamaah dan oleh Negara. Aspek ketiga ini hanya boleh ditegakkan oleh negara. Oleh sebab itu, bagi masyarakat Islam merupakan perkara vital untuk menjaga keberlangsungan aksistensi negara yang berdasar pada wahyu Allah. Wallahu a’lam bishowab.