Aturan Baru terkait BPJS, Kebijakan Tidak Relevan?

Oleh: Yulweri Vovi Safitria

 

Lensa Media News – Sudah jatuh tertimpa tangga. Ungkapan itu sepertinya cocok untuk menggambarkan kondisi masyarakat saat ini. Bagaimana tidak, saat ekonomi kian sulit, PHK yang terus membayangi, harga-harga yang terus melonjak naik, pemerintah kembali membuat aturan baru yang membuat masyarakat tercengang.

Melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2022 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), maka per 1 Maret mendatang, kartu BPJS akan menjadi syarat dalam mengurus surat-surat dan sejumlah dokumen penting, seperti mengurus SIM, STNK, jual beli tanah, hingga naik haji. Inpres yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 6 Januari 2022 itu ditujukan kepada sejumlah menteri, jaksa agung, kapolri, pimpinan lembaga, gubernur hingga bupati/wali kota di Indonesia. (bbc.com/indonesia, 21/02/2022)

 

Kebijakan yang Tidak Relevan?

Mandat Presiden Jokowi tersebut, sontak menuai pro dan kontra di kalangan publik. Kartu BPJS ibarat ‘kartu sakti’ yang wajib dimiliki oleh seluruh masyarakat Indonesia. Kepala Humas BPJS Kesehatan, M. Iqbal Anas Ma’ruf mengatakan bahwa inpres tersebut bertujuan untuk memastikan semua penduduk, tanpa kecuali, bisa masuk ke dalam skema jaminan kesehatan nasional. Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, tidak mempermasalahkan aturan itu. Timboel mendesak BPJS Kesehatan agar tidak hanya tuntut sana tuntut sini, akan tetapi juga meningkatkan pelayanan yang lebih baik dan nyata, sehingga aturan baru itu memiliki dampak yang lebih baik pula.

Hal berbeda disampaikan oleh Anggota DPR RI Komisi IX Kurniasih Mufidayati. Ia menilai, kebijakan pemerintah tersebut justru akan menambah beban masyarakat karena berdampak pada proses administrasi yang berbelit sehingga akan menyulitkan masyarakat untuk mengakses layanan publik, yang seharusnya mudah mereka dapatkan.

Pengamat Ekonomi dari Indonesia Strategic and Economic Action Institution, Ronny P. Sasmita angkat bicara. Menurut Ronny, kebijakan mewajibkan untuk melampirkan kartu BPJS Kesehatan adalah kebijakan gegabah, konyol, dan diskriminatif. Menurutnya, pemerintah tidak lagi sebagai regulator sekaligus menjadi salah satu pemain, tapi berubah menjadi pengatur dan pemain satu-satunya.

 

Kapitalisme Biang Masalah

Di tengah perdebatan soal JHT yang belum usai, timbul pertanyaan besar di benak publik. Ada apa dengan aturan ini? Dimana masyarakat seolah-olah dipaksa untuk mengikuti semua aturan, yang pada pelaksanaannya entah untuk kepentingan siapa.

Aturan yang ditetapkan oleh pemerintah membuat masyarakat tidak berkutik. Tidak ada pilihan lain, selain mengikuti aturan tersebut. Secara tidak langsung hal ini menunjukkan bahwa negara seakan memaksakan kehendaknya untuk menarik keuntungan dari rakyat. Ya, jika tidak memiliki kartu peserta BPJS, masyarakat tidak mendapatkan layanan publik. Lantas di mana letak jaminan kesehatan yang dimaksud? Padahal yang namanya jaminan adalah dijamin, baik dari segi pelayanan maupun pembiayaan. Namun faktanya BPJS tak ubahnya seperti asuransi. Rakyat membayar sejumlah uang untuk bisa mendapatkan layanan kesehatan.

Dan kepesertaan BPJS Kesehatan tidak berdampak adanya jaminan pelayanan kesehatan yang memadai untuk pesertanya. Urusan administrasi yang rumit dan perlakuan yang diskriminatif dengan pasien non-BPJS, masih terjadi di lapangan. Belum lagi kasus 2019 lalu dimana BPJS mengaku terlambat membayar klaim pelayanan kesehatan kepada rumah sakit. Hal ini membuat masyarakat mulai hilang kepercayaan. Status peserta BPJS Kesehatan ibarat anak tiri di dalam pelayanan kesehatan.

Hal ini terjadi akibat kapitalisasi pelayanan kesehatan. Layanan kesehatan menjadi komoditas penting untuk mengeruk keuntungan, tak ada empati, melainkan pundi-pundi. Hal ini terus terjadi pada negara-negara berkembang, tak terkecuali Indonesia. Yang mana Indonesia harus mengikuti permainan kapitalisme global. Sehingga kapitalisasi sektor kesehatan menjadi hal yang tidak bisa dielakkan. Negara tidak lagi sebagai penyelenggara sistem kesehatan dan memberikan jaminan kesehatan untuk rakyat. Alhasil, aturan yang terkesan mengada-ada pun dibuat. Apa kaitannya kartu BPJS Kesehatan dengan SIM/STNK, jual beli tanah, hingga berhaji?

 

Aturan Islam Menyejahterakan

Islam memandang kesehatan adalah hak dasar publik yang harus dipenuhi oleh negara. Negara menjamin kesehatan rakyat secara cuma-cuma, tanpa embel-embel. Negara tidak mempersulit pelayanan publik dengan administrasi yang berbelit. Semua layanan itu diberikan secara gratis oleh negara. Ada atau tidaknya pemasukan, negara wajib memberikan pelayanan kesehatan.

Oleh sebab itu, sudah saatnya umat menyadari bahwa tidak ada yang lebih menyejahterakan selain dari aturan Islam. Aturan yang bersumber dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, memberikan maslahat untuk seluruh umat. Pun penguasa yang diberikan amanah, bekerja untuk kepentingan rakyat.

Wallahu a’lam.

[ah/LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis