Menguak Kembali Agenda Dibalik Penghapusan BBM Bersubsidi
Oleh: Fera Ummu Fersa
Lensa Media News – Lagi lagi untuk kesekian kalinya pemerintah kembali berencana membuat kebijakan yang menyesakkan dada, terutama bagi masyarakat menengah ke bawah. Pemerintah berencana menghapus BBM jenis premium sebagaimana disampaikan oleh Kementrian ESDM, dengan alasan utama yaitu untuk mendukung penggunaan BBM yang ramah lingkungan. Direktur Pembinaan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi kementrian ESDM, Soerjaningsih, mengatakan bahwa pemerintah sedang menyusun peta jalan bahan bakar minyak ramah lingkungan dimana nantinya pertalite juga akan diganti dengan bahan bakar kualitas lebih baik. Bahwasanya saat ini memasuki masa transisi dimana premium RON 88 akan digantikan dengan RON 90, sebelum akhirnya menggunakan bahan bakar ramah lingkungan (www.kabarbisnis.com, 23/12/21).
Sementara itu, di kesempatan terpisah, Komisaris Utama PT Pertamina, Basuki Thahaja Purnama, sangat mendukung rencana pemerintah menghapus BBM yang tak ramah lingkungan dengan mengatakan bahwa premium membahayakan kesehatan. Selain alasan kesehatan tersebut, Basuki Thahaja juga menegaskan bahwa tingkat penggunaan pertalite telah mendominasi. Diketahui, pertalite memiliki kadar Oktan RON 90 atau satu tingkat di atas premium (www.liputan6.com, 28/12/21).
Di balik wacana penghapusan BBM premium, faktor lingkungan disebut sebagai salah satu alasan terkuat atas munculnya wacana tersebut. Sebagaimana diketahui aturan pemerintah terkait BBM ramah lingkungan tertuang dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) No 20 th 2017 tentang penerapan bahan bakar Standart Euro 4, yaitu minimal RON 91. Yang menjadi pertanyaan adalah benarkah alasan kerusakan lingkungan merupakan pemicu tunggal wacana penghapusan BBM premium. Mengingat kebijakan pemerintah dan PT Pertamina (Persero) ini dinilai sebagai pihak yang akan memberi keuntungan pihak korporasi. Sebab, bukan kali ini saja wacana penghapusan premium dengan dalih lingkungan mencuat, bahkan sejak 2015 wacana ini telah digulirkan.
Sejak lama, gonjang-ganjing Pertamina dan bisnis migas tanah air, sesungguhnya tak lepas dari adanya upaya untuk melepas harga BBM ke pasar sehingga mengikuti harga keekonomian. Intervensi korporasi jelas tercium dalam hal ini. Terlebih, intervensi asing dalam bisnis migas di tanah air dijamin melalui regulasi yang dirumuskan sendiri oleh pemerintah sendiri. Jika selama ini pertamina sebagai pemain tunggal dalam perjalanan BBM melalui UU migas, pemerintah telah menghadirkan kompetitor baru dalam bisnis migas dengan syarat yang relatif mudah. Sayangnya, keberadaan BBM menyulitkan pemain asing sebagai kompetitor untuk masuk, terlebih saat premium masih bersubsidi. Itulah mengapa pemerintah berambisi mencabut subsidi premium, tentu karena intervensi jawabannya.
Menakar Akar Masalahnya
Lagi lagi, akar permasalahannya adalah karena sistem demokrasi liberal yang masih bercokol di negeri kita. Perhitungan untung dan rugi merupakan napas dunia bisnis, hingga memberi keleluasan bagi investor asing untuk bermain serta menguasai niaga migas. Dengan menyerahkan pada harga pasar, maka investor dan para pebisnis minyak akan membanjiri Indonesia dengan mudah. Mereka akan dengan mudah menentukan harga BBM, dan yang perlu diwaspadai adalah BBM jenis RON 92 atau pertamax yang dijual pertamina, nantinya ditakutkan bakal diserang dari segala penjuru oleh perusahaan-perusahaan asing yang juga berbisnis minyak di Indonesia, sehingga menimbulkan liberalisasi harga minyak.
Penghapusan BBM jenis premium dan pertalite tersebut tentu saja sangat merugikan masyarakat, terutama masyarakat kelas menengah ke bawah akan sangat merasakan dampak tersebut. Sebab, kenaikan harga BBM akan berpotensi besar pada kenaikan harga bahan kebutuhan pokok di pasar. Ongkos produksi menjadi lebih tinggi. Hal ini tidak hanya menyulitkan hidup rakyat, tapi juga membuat rakyat harus membeli BBM dengan harga yang relatif mahal.
Sangat berbanding terbalik dengan sistem Islam dimana dalam Islam BBM termasuk barang milik umum yang wajib dikelola oleh negara secara mandiri, kemudian mendistribusikan secara adil ke tengah-tengah masyarakat. Khalifah hadir untuk melindungi kepentingan umat dangan tidak mengambil keuntungan kecuali untuk menutup biaya produksi saja. Hasil pengelolaan sumber daya alam akan dikembalikan kepada masyarakat dalam dua bentuk yaitu, pertama, produk sumber daya alam secara langsung seperti BBM dan sebagainya. Kedua, secara tidak langsung ketika ada margin keuntungan dari penjualan BBM ke masyarakat dengan harga yang sangat terjangkau, maka profit tersebut akan dikembalikan lagi kepada masyarakat dalam bentuk penyediaan pelayanan umat secara umum seperti biaya pendidikan murah bahkan gratis, layanan kesehatan terjangkau dan berkualitas, pembangunan infrastruktur bagi masyarakat umum, dan sebagainya.
[el/LM]