Ilusi Kesejahteraan Buruh dalam Sistem yang Rapuh
Oleh: Neneng Sri Wahyuningsih
Lensa Media News – Menjelang akhir tahun 2021, setiap orang berharap dapat menutupnya dengan momen bahagia. Namun, tidak dengan kaum buruh. Bukannya mendapatkan kado istimewa, justru mereka kembali menelan pil pahit. Betapa tidak, pemerintah pusat memutuskan kenaikan upah tahun depan sangat tipis.
Dilansir dari Kompas.com, 27/11/2021, bahwa pemerintah pusat memutuskan kenaikan upah minimum provinsi atau UMP 2022 sebesar 1,09 persen. Adapun penetapan upah ini mengacu pada Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang diturunkan melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan.
Miris. Bagaimana nasib buruh bisa sejahtera, jika upahnya saja sangat tidak manusiawi. Apa alasan dibalik penetapan upah yang minim tersebut? Lantas bagaimana sistem upah yang benar dan mampu menyejahterakan kaum buruh?
Menuai Protes
Sontak perencanaan UMP ini menuai protes dari berbagai federasi dan serikat buruh. Mereka beranggapan bahwa kebijakan tersebut tidak memihak pada buruh. Selain itu, besarnya kenaikan UMP ini tidak sebanding dengan inflasi yang akan terjadi di tahun 2022, yakni sekitar 4 persen. Inflasi ini cerminan dari kenaikan harga barang-barang. Jika upahnya lebih rendah, berarti berpotensi menekan daya beli mereka.
Gelombang protes pun tak bisa dibendung. Mereka menggelar aksi demo di berbagai daerah dari tanggal 6-8 Desember untuk menuntut kenaikan upah yang wajar sekitar 7-10 persen.
Presiden Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia Mirah Sumirat pun menegaskan, jika aturan terkait pengupahan ini tidak dibatalkan, maka akan memberikan dampak negatif terhadap dunia ketenagakerjaan. Di antaranya semakin mudahnya pemutusan hubungan kerja (PHK), angka pengangguran meningkat, daya beli melemah, merosotnya angka konsumsi rumah tangga yang berdampak pada penurunan perputaran ekonomi nasional dan mempengaruhi angka pertumbuhan ekonomi nasional.
Di samping itu, pihaknya menuntut agar pemerintah bisa bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyatnya, bukan justru lebih mengedepankan segelintir orang yang memiliki kepentingan untuk meraih keuntungan. (Money.kompas.com, 29/11/2021)
Ilusi Kesejahteraan
Menteri ketenagakerjaan, Ida Fauziah berkilah bahwa alasan dibalik penetapan upah yang minim ini karena mempertimbangkan kebutuhan buruh dan kondisi dunia usaha saat ini yang masih terdampak pandemi COVID-19. (Tirto.id, 19/11/2021)
Hanya saja, jika memang tujuannya memperhatikan kebutuhan buruh, seharusnya menggulirkan kebijakan yang positif dan menyenangkan mereka. Namun, faktanya tidaklah demikian.
Begitu pun dengan alasan kondisi pengusaha yang tertekan pandemi. Seakan tidak masuk akal. Pasalnya, jika kita cermati kembali UU Ciptaker, isinya banyak sekali yang merugikan kaum buruh. Misalnya, pesangon tanpa kepastian, perluasan status kontrak dan outsourcing, kemudahan perusahaan melakukan PHK, penghapusan Upah Minimum Kabupaten/kota (UMK) dan Upah Sektoral (UMSK), serta aturan pengupahan berdasarkan jam kerja, hingga hilangnya jaminan kesehatan dan pensiun.
Selain itu, yang terdampak pandemi bukan hanya para pengusaha saja tetapi kaum buruh juga. Mereka semakin terhimpit ekonomi. Di satu sisi tetap harus memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun, di sisi lain, pendapatannya berkurang karena imbas dari pandemi ini.
Ironis. Inilah dampak diterapkannya sistem kapitalisme. Aturan yang dibuat lebih menguntungkan para pemilik modal dibandingkan rakyatnya sendiri. Mengharapkan kesejahteraan dalam sistem kapitalisme bagai mimpi di siang bolong. Sistem yang rapuh tidak akan pernah bisa diandalkan. Terbukti, meski buruh ini memperjuangkan kesejahteraannya setiap tahun dalam berbagai aksi, kenyataannya tidak pernah membuahkan hasil yang diharapkan. Hingga kini, nasib buruh tetap saja masih jauh dari kata sejahtera.
Islam Menyejahterakan Kaum Buruh
Islam merupakan agama paripurna. Di dalamnya mengatur berbagai problematika kehidupan, termasuk tentang akad ijarah antara pekerja dan pengusaha.
Dalam Islam, prinsip pengupahan itu adil dan sejahtera, sama halnya prinsip dasar kegiatan ekonomi (muamalah) secara umum. Sehingga ketika menetapkan besarannya haruslah berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak dan tidak ada unsur paksaan. Adapun besarannya ditetapkan berdasarkan manfaat tenaga pekerja, bukan kebutuhan hidup paling minimum.
Jikalau dalam penetapan upah kerja ini terjadi adu mulut, maka pakar lah (khubara’) yang menentukan upahnya. Pakar ini dipilih kedua belah pihak. Namun, jika masih tetap berdebat, maka negara turun tangan untuk memilih pakar dan meminta kedua belah pihak untuk mengikuti keputusannya.
Pemberian upah kerja pun harus tepat waktu. Ketika menundanya maka termasuk zalim. Sebagaimana hadis yang diriwayatkan Ibnu Majah dan ath-Thabrani, Rasulullah saw. bersabda, “Berikanlah upah kepada pekerja sebelum kering keringatnya.”
Inilah cara pengupahan dalam sistem Islam. Ketika sistem ini diterapkan dengan sempurna, maka harapan hidup sejahtera pun mampu diwujudkan.
Wallahu a’lam bishshowab
[LM]