Harga Sembako Masih Tinggi, Mengapa Terjadi Lagi?
Oleh : Nurintan Sri Utami
Lensa Media News – Ibu-ibu rumah tangga menengah ke bawah juga pelaku UMKM sedang dipusingkan dengan harga sembako yang terus naik dan susah turun. Sejumlah komoditas pangan masih jauh dari harga normal, seperti harga cabai rawit merah, minyak goreng hingga telur ayam. Tingginya harga ini terjadi sejak mendekati natal dan berlanjut hingga tahun baru. Berdasarkan data di Jawa Timur, harga minyak goreng rata-rata 19 ribu per kg, cabai rawit merah 57 ribu per kg, telur ayam 40 ribu per kg (kabarbesuki.pikiran-rakyat.com, 5/1/2022). Harga cabai rawit diketahui telah mengalami penurunan, namun minyak goreng dan telur stabil dengan harga tinggi.
Hal ini jelas meresahkan karena kebutuhan pokok seperti minyak goreng itu dipakai setiap hari untuk memasak. Agar harga tidak melambung tinggi, pemerintah berinisiatif untuk mendistribusikan minyak dengan kemasan sederhana dengan harga kisaran 14 ribu rupiah. Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira memandang, pemberian subsidi minyak goreng merupakan kebijakan yang bersifat temporer. Apalagi dalam enam bulan, jumlahnya pun tidak mencukupi total kebutuhan minyak goreng, terutama untuk UMKM dan rumah tangga menengah ke bawah. Belum lagi masih ada oknum yang bisa jadi memanfaatkan distribusi tersebut untuk melakukan penimbunan (lombokpost.jawapos.com, 7/1/2022).
Jika terus seperti ini, pukulan keras akan mengenai masyarakat menengah ke bawah yang sudah cukup ngos-ngosan memenuhi kebutuhan hidup selama ini. Akhirnya kualitas gizi juga turun, produktivitas jelas juga menurun bahkan akan berpotensi terjadi kelaparan. Apalagi kenaikan harga tidak terjadi sekali saja, namun sudah berkali-kali dengan berbagai momentum.
Peristiwa kenaikan harga kebutuhan pangan ini terjadi akibat dari dua aspek yaitu produksi dan sistem distribusi. Kedua hal ini ada pada kewenangan pemerintah untuk mengaturnya. Aspek produksi mencakup minimnya langkah antisipasi pemerintah menghadapi cuaca, lemahnya dukungan terhadap petani, peternak, dsb, kebijakan impor yang mematikan usaha pertanian, dan ketergantungan pada bahan pakan impor. Selain itu, pada sistem distribusi tak kalah mengecewakan. Pembiaran distorsi pasar yaitu berupa penimbunan, rantai tata niaga yang terlalu panjang, sistem logistik yang buruk, serta harga pangan yang harus ikut standar dunia.
Semua aspek di atas tidak lain kembali pada sistem neoliberal yang meniadakan peran negara. Seharusnya produksi dan sistem distribusi diatur sedemikian rupa untuk memudahkan rakyat. Juga tidak bisa diabaikan, bahwa negara masih tergantung kepada aturan internasional terkait penentuan harga misal harga minyak goreng, padahal Indonesia merupakan negara penghasil kelapa sawit.
Peran negara dalam pemenuhan kebutuhan pangan sejatinya digantikan oleh korporasi yang hilir mudik pada proses produksi, distribusi hingga konsumsi. Korporasi jelas lebih mengutamakan keuntungan daripada kesejahteraan rakyat. Walhasil, negara haruslah meninggalkan sistem neoliberal yang dianut dan kembali pada peran hakikinya sebagai pengurus rakyat.
[el/LM]