PCR Wajib Bagi Penerbangan, Bukan Alasan Kesehatan
Oleh : Tri Puji Astuti
Lensa Media News – Tiada habisnya penularan Covid-19 di Indonesia. Kini, penyebaran yang meningkat drastis dialami oleh daerah luar Pulau Jawa-Bali. Kenaikan angka yang drastis ini sebenarnya sudah diprediksi lantaran pemerintah tidak bersungguh-sungguh menerapkan kebijakan yang telah ditetapkan ketika Jawa dan Bali mengalami puncak Covid-19 pada bulan Juli lalu.
Sehubungan dengan permasalahan tersebut, pemerintah akan mengeluarkan aturan mengenai wajibnya PCR bagi siapa saja yang ingin melakukan perjalanan menggunakan maskapai penerbangan. Aturan ini menuai kontroversi. Sebagian orang menganggap, ini merupakan solusi menyikapi kenaikan penyebaran covid-19. Namun tak sedikit yang merasakan aturan ini memberatkan sekaligus tidak menunjukkan kekonsistenan karena tak berlaku untuk transportasi darat.
Peraturan wajib PCR sebagai syarat naik pesawat, tertuang dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 53 tahun 2021 tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) level 3, 2, dan 1 covid-19 di Jawa-Bali. Dalam peraturan disebutkan bahwa calon penumpang pesawat wajib menyertakan tes reverse transcription polymerase chain reaction (RT-PCR) yang akan resmi berlaku pada 24 Oktober 2021.
Dr. Masdalina Pane dari Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI) menilai, aturan wajib tes PCR saat naik pesawat tidak konsisten karena tidak berlaku untuk transportasi darat. Ia mempertanyakan efektivitasnya, jika tujuannya untuk membatasi mobilitas. Sebaliknya, ia menilai risiko penularan justru lebih tinggi pada transportasi darat seperti bus dan kereta api karena durasi perjalanannya lebih lama. Sementara dalam aturan yang berlaku, transportasi darat cukup mewajibkan tes antigen.
Dikutip dari forum Instagram wadahaspirasimuslimah, menurut ahli farmasi, Apt. Ilman Silanas, M.kes, beliau menyatakan bahwa sejak awal ada kekurangseriusan pemerintah dalam melakukan antisipasi. Pemerintah lebih banyak melakukan narasi-narasi yang tujuannya untuk menenangkan masyarakat tetapi tidak disertai dengan persiapan yang matang untuk menghadapi gelombang pandemi yang sudah terjadi.
Saat ini kondisinya sudah sangat gawat, rumit lagi kusut. Semua kebijakan dan aturan yang sudah ditetapkan atau yang akan ditetapkan seolah serba salah. Ketika menekan mobilitas ada saja yang dirugikan, sebaliknya ketika melonggarkan mobilitas, nakes akan kesulitan karena beresiko terjadi lonjakan kasus covid-19.
Tak bisa dipungkiri bahwa kepercayaan rakyat terhadap pemerintahan juga sudah hirap. Ditambah adanya pihak-pihak yang mencari keuntungan di balik himpitan pandemi. Mereka adalah para elit kapitalis yang selalu mencari celah dan mengambil manfaat di atas penderitaan rakyat.
Hal ini meyakinkan kita bahwa menghentikan rantai pandemi covid-19 bukan hanya sekedar menekan mobilitas, mengeluarkan wajib PCR yang tidak seimbang, treatment dan lain sebagainya. Lebih dari itu, penyelesaian pandemi membutuhkan kepemimpinan global yang kredibel dan konsisten terhadap satu masalah. Memberikan solusi sampai ke akar-akarnya, bukan malah melahirkan cabang masalah.
Wallahu’alambishawwab.
[lnr/LM]