Cegah Stunting dengan Makan Bergizi Gratis, Benarkah?

Oleh: Najma Nabila
Aktifis Muslimah Bogor
LenSa Media News _ Opini_ Makan bergizi gratis (MBG) sudah mulai diterapkan sedikit demi sedikit. Para pelajar SD, SMP, maupun SMA di berbagai daerah sudah mulai menerima makan siang gratis di sekolahnya. Di awal pelaksanaannya, program yang memenangkan hati para pemilih pasangan Prabowo-Gibran, mulai menunjukkan masalahnya. Tak hanya soal selera yang tidak cocok dengan setiap siswa, tetapi kasus makanan tidak berkualitas, bahkan sampai terjadi kasus keracunan makanan di sukoharjo (Espos news; 22-12025), juga perkara pendanaan masuk ke dalam daftar panjang persoalan diterapkannya MBG.
Pada masa kampanye, MBG disbeut-sebut dapat menuntaskan masalah stunting. Namun, setelah pelaksanaannya di awal tahun ini, makin nampak bahwa MBG bukanlah solusi akar dari masalah stunting. Stunting perlu diberi solusi yang menyentuh akar masalah, di mana gizi seseorang sangat bergantung sejak ia masih dalam kandungan, kualitas ASI, dan MPASI yang didapatkan selama 1000 hari pertama kehidupan. Akan lebih bijak jika dana MBG dialihkan untuk terjangkaunya harga bahan pangan bergizi yang mudah dan murah untuk diperoleh seluruh masyarakat Indonesia. Berikutnya, ketersediaan lapangan pekerjaan agar seluruh rakyat punya daya beli yang baik untuk memperoleh bahan pangan bergizi. Setiap keluarga pun dapat menyesuaikan sesuai kebutuhan dan kesukaan anggota keluarga, plus masalah seperti makan tidak habis atau bahkan keracunan bisa diminimalisasi.
MBG makin terlihat tidak didekasikan untuk kepentingan rakyat, melainkan proyek pencitraan yang pada akhirnya membebani rakyat. Pendanaan akan menguntungkan bagi pihak yang dapat menjanjikan sebagai penyedia makan bergizi, sementara di lapangan belum semua mendapatkan pangan yang layak konsumsi maupun anggaran yang sudah terpotong di sana-sini.
Memang dalam Islam negara wajib menjamin kesejahteraan rakyat, termasuk dalam perkara pangan. Namun, membuat suatu program yang belum diukur dan tidak menyentuh akar masalah hanya akan menambah masalah baru dalam negeri ini. Dalam Islam, pemerintahan wajib melibatkan pakar dalam membuat kebijakan terkait, baik dalam persoalan pemenuhan gizi, pencegahan stunting, terlebih dalam mewujudkan ketahanan dan kedaulatan pangan.
Lapangan pekerjaan pun harus dibuka luas agar masyarakat mampu mengakomodasi kebutuhan pangan bergizi untuk keluarganya. Sumber dana negara untuk mengakomodir hal-hal tersebut dapat berasal dari beragam sumber pendapatan negara seperti pengolahan sumber daya alam yang masuk kembali pada kas negara.
Dalam Islam, mengurus rakyat adalah tugas utama negara yang harus dilakukan dengan kualitas terbaik. Orientasi ini hanya ada dalam Islam, di mana kekuasaan merupakan amanah dari Allah yang harus dijalankan dengan amanah yang akan dipertanggungjawabkan di hari akhir nanti. Kelak, masalah stunting akan benar-benar bisa tertuntaskan melalui pemerintahan yang benar-benar peduli dan mau memprioritaskan gizi dan kesehatan rakyatnya.
Hanya sistem seperti inilah yang mampu mengurus rakyatnya dengan baik untuk kesejahteraan yang akan mereka dapatkan. Semoga umat kian paham dan mau belajar dan mendakwahkan Islam sehingga kelak kita dapat terlindungi oleh sistem Islam.
Wallahu a’lam bishshawwab.
(LM/SN)