Mengapa Makin Banyak Yang Tidak Mau Beragama?
Oleh : Ummu Rifazi, M.Si
LenSa MediaNews.com, Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak menghapus kolom agama pada Kartu Tanda Penduduk (KTP) mengundang banyak reaksi dari berbagai kalangan, mulai dari masyarakat umum sampai para akademisi.
Direktur Eksekutif Setara Institute, Halili Hasan menilai keputusan MK tersebut merupakan pemaksaan terhadap warga negara Indonesia dan bertentangan dengan prinsip kebebasan berkeyakinan setiap warga negara.
Senada dengan Halili Hasan, akademisi dari Center for Religious and Cross-Cultural tudies (CRCS) Universitas Gadjah Mada Mohammad Iqbal Ahnaf menilai bahwa banyak aturan administrasi yang memaksa orang untuk beragama dan berkeyakinan, mulai dari saat lahir, menempuh pendidikan, menikah, sampai menjadi presiden (tribunnews.com, 06-01-2025).
Sistem Batil, Menyuburkan Atheisme
Sungguh miris bahwa fenomena manusia yang memilih untuk tidak bergama (ateis) semakin bertambah dan semakin terang-terangan. Lebih parahnya lagi pilihan hidup untuk mejadi ateis pun semakin banyak pendukung yang berasal dari lingkungan pendidikan alias para akademisi.
Sejatinya sistem demokrasi yang diterapkan sebagai aturan bernegara makin menyuburkan perilaku ateisme. Sistem kehidupan yang lahir dari sekulerisme (memisahkan agama dari kehidupan), tegak di atas asas kebebasan yaitu kebebasan beragama, berpendapat, kepemilikan dan berperilaku.
Dalam sistem batil ini, rakyat bertindak sebagai musyarri (pembuat hukum) lewat para legislator di perwakilan rakyat atau parlemen. Keputusan yang diambil tidaklah berdasarkan halal haram menurut syariat Allah, namun berdasarkan pendapat mayoritas yang menekankan bahwa kebebasan memeluk agama dan kepercayaan merupakan hak asasi manusia (HAM). Oleh karenanya, aturan yang berlaku di Indonesia tidak pernah secara tegas melarang ateisme.
Secara normatif, ateisme tidak dibenarkan di Indonesia karena bertentangan dengan sila pertama Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Namun secara hukum, tidak ada peraturan yang tegas melarang seseorang menganut ateisme.
Yang ada hanyalah konsekuensi administratif bahwa warga negara yang ateis tidak bisa memperoleh hak secara umum seperti mengurus pernikahan maupun mengurus berbagai dokumen kependudukan seperti KTP karena harus menyertakan agama. Alhasil sistem demokrasi sekuler batil ini semakin menjauhkan tuntunan Ilahi dalam kehidupan dan menyuburkan kesesatan seperti ateisme ini.
Sistem Sahih : Mencerdaskan Akal, Memberantas Ateisme
Sesungguhnya memilih untuk tidak beragama menunjukkan rendahnya kualitas seorang manusia sekaligus sesuatu hal yang membahayakan diri dan lingkungan sekitarnya.
Padahal sejatinya manusia diciptakan untuk melangsungkan kehidupannya untuk mengabdi kepada Sang Maha Pencipta yaitu Allah sebagaimana firmanNya yang artinya, “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”. (TQS Adz-Dzariyat :56).Firman Allah tersebut berlaku untuk seluruh manusia dan jin sebagai makhluk ciptaanNya.
Kecenderungan manusia untuk menyimpang akan selalu ada, karena manusia adalah makhluk yang lemah dan mudah dibujuk setan. Oleh karenanya harus ada yang senantiasa mengingatkan manusia untuk menjalankan kehidupannya sesuai fitrah penciptaanNya yaitu berdasarkan syariat Allah.
Kesesatan secara fitrahnya sangatlah mudah menyebar, oleh karenanya pencegahan terhadap kesesatan seperti ateisme ini membutuhkan sistem kehidupan sahih yaitu Islam yang diterapkan secara menyeluruh dalam Daulah Khilafah Islamiyyah.
Islam adalah agama yang sempurna sebagaimana firmanNya yang artinya, “..Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu…” (TQS Al-Maidah:3).
Karena kesempurnaannya, maka Islam adalah agama yang sesuai fitrah dan akal manusia. Seluruh manusia, baik seorang sekularis, liberalis, bahkan ateis sekalipun, jika dia mampu menggunakan potensi akalnya untuk berpikir, tidak ada jawaban yang lebih rasional dan memuaskan akal sekaligus menenteramkan hati kecuali dengan akidah Islam.
Ajaran Islam senantiasa menuntun setiap manusia untuk berpikir menggunakan akalnya tentang hakikat penciptaan manusia, alam, dan kehidupan, sebagaimana firmanNya yang artinya,”Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal“. (TQS Ali Imran : 90).
Melalui ayat ini, manusia diingatkan untuk mengamati dengan seluruh inderanya dan berpikir dengan akalnya bahwa alam semesta ini tidaklah muncul begitu saja namun diciptakan oleh Sang Maha Pencipta Yang Maha Agung yaitu Allah taalaa. Sehingga sudah sepatutnya manusia tunduk pada syariatNya.Wallahu alam bisshowwab. [ LM/ry].