Mengintip Gaza
Oleh: Lulu Nugroho
Lensamedianews.com__ Puluhan pasang mata mengintip Gaza yang sedang meregang nyawa. Mereka menyaksikan bayi-bayi yang tewas kedinginan di tenda-tenda perkemahan, begitu pula perempuan dan anak-anak, yang menjadi target serangan, dan dihalangi memenuhi kebutuhan jasmaninya. Bantuan kemanusiaan berupa makanan, pakaian dan obat-obatan pun, diblokade hingga tak dapat mencapai pemukiman.
Melalui teropong koin, puluhan pasang mata tersebut, melakukan perjalanan wisata, untuk melihat dari dekat, kesakitan Gaza. Mereka adalah para pelajar. Mereka tidak pergi ke museum, tidak juga ke kebun binatang, tetapi menuju wilayah entitas Zionis untuk wisata ketahanan Israel atau wisata genosida internasional, demikian mereka menyebutnya.
Para turis dan anak-anak sekolah kunjungan wisata, pergi bertamasya ke wilayah entitas Zionis dan mengintip Gaza melalui teleskop. Zionis menjadikan Gaza sebagai obyek wisata.
“Mereka berjalan di Sderot, menggunakan teropong yang dioperasikan dengan koin, untuk menyaksikan kehancuran Gaza. Mereka melihatnya sebagai hiburan, kondisi penduduk Gaza yang terisolir dan sulit mendapatkan akses untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kami berada sekitar 1,5 mil jauhnya, dari 300 ribu orang yang dibuat mati oleh Israel, ” ujar Mathew Hoh, mantan pejabat Departemen Pertahanan AS dan veteran Marinir AS.
Penonton pun melihat dari jarak aman, jika mereka mau, ketika roket-roket meluncur dan bom-bom dijatuhkan ke wilayah Gaza. Selama tur berlangsung, mereka menyampaikan bahasan tentang pembagian Gaza ke dalam koloni masa depan dan mempromosikan konsep “Israel Raya”. Bagi wisatawan Yahudi Amerika, mereka memberikan kunjungan hak lahir Israel. (Tribunnews.com, 18-11-2024)
Ada juga tur perahu, yaitu membawa para turis menyaksikan pemandangan Gaza di malam hari. Dari atas kapal laut, tampak kehidupan warga Gaza saat langit pekat gulita. Mereka menyaksikan kehancuran Gaza, dan melihatnya sebagai hiburan.
Hal ini memicu kemarahan masyarakat dunia yang menganggap Zionis sedang melakukan aktivitas penghapusan semua warga Palestina sebagai manusia. Warga dunia mengutuk wisata ini. Mereka menganggapnya sebagai aktivitas yang tidak waras dan tidak manusiawi. Para pembela hak asasi manusia juga telah menyerukan penghentian kegiatan tersebut.
Genosida yang dilakukan Zionis Israel memicu kemarahan masyarakat dunia. Meski demikian, para pemimpin negara tetap bergeming. Mereka tetap diam terpaku menjadi saksi bisu kekejaman Zionis. Bahkan tak satu pun pemimpin negeri muslim yang mengirimkan pasukan jihad, untuk menuntaskannya.
Khilafah Solusi Hakiki
Entitas Zionis telah melakukan serangan brutal di Gaza, pada 7 Oktober 2023 lalu. Di tahun-tahun sebelumnya pun mereka telah merangsek memasuki pemukiman warga, dan menguasai wilayah Palestina, sedikit demi sedikit. Kekejaman mereka tak terperikan. Dunia melihatnya, namun tak satupun mampu membebaskan Palestina.
Meski sudah ada resolusi Dewan Keamanan PBB yang menyerukan gencatan senjata, entitas Zionis tetap bersikeras melanjutkan perang hingga mencapai ‘kemenangan mutlak’ di Gaza. Bahkan kini merambah ke negeri muslim lainnya. Lebih dari 42.000 orang telah tewas, sebagian besar wanita dan anak-anak, dan lebih dari 97.700 terluka, menurut otoritas kesehatan setempat.
Diumumkan bahwa jumlah total korban tewas akibat agresi “Israel” telah meningkat menjadi 42.126 orang yang menjadi martir dan 98.117 orang yang terluka sejak 7 Oktober 2023. Laporan Reporters Without Bordes (RSF) mengungkapkan Israel telah mengubah Gaza menjadi tempat paling mematikan bagi jurnalis, selama setahun genosida yang berlangsung sejak 7 Oktober 2023. Sejak bom pertama jatuh di Gaza pada 7 Oktober 2023 pagi, hak atas informasi tentang apa yang terjadi di Gaza terus terkikis setiap harinya karena pemblokiran media oleh Israel.
Tak mungkin berharap pada lembaga dunia (PBB). Tidak juga kepada pemimpin-pemimpin negara muslim. Koyaknya ikatan akidah, akibat sekat maya nasionalisme, menjadikan hati dan pikiran penguasa muslim tak lagi tertuju pada nilai Ilahi. Mereka banyak beretorika, namun tanpa aktivitas nyata.
Wisata genosida adalah buah sekularisme, yang memandang materi sebagai tujuan hidupnya. Penderitaan manusia pun menjadi obyek mendatangkan cuan. Asalkan mendatangkan keuntungan, maka mereka akan terus membuat inovasi baru, dan mencari bentuk wisata yang berbeda. Seperti Colosseum Romawi, pada masa lampau, yang membuat arena pertandingan antara para tahanan (manusia) dengan binatang buas atau eksekusi tahanan (noxii), pertarungan air (naumachiae) dengan cara membanjiri arena, dan pertarungan antara gladiator (munera).
Kaisar Domitian membuat beberapa perubahan pada bangunan tersebut antara tahun 81 dan 96 M, hingga dapat menampung 50.000 orang. Ini adalah amfiteater terbesar di dunia. Para penonton rela membayar mahal untuk menyaksikan pertunjukan sadis, yang bahkan dianggap spektakuler tersebut.
Sementara Allah SWT berfirman,
مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي اْلأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا
“Siapa saja yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, seakan-akan dia telah membunuh seluruh manusia.” (QS Al-Maidah [5]: 32)
Dari al-Barra’ bin Azib radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللَّهِ مِنْ قَتْلِ مُؤْمِنٍ بِغَيْرِ حَقٍّ
“Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibandingnya terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” (HR Nasai 3987, Turmudzi 1455, dan dishahihkan Al-Albani)
Maka tak mungkin berharap pada pemimpin dunia atau lembaga dunia lainnya. Mereka adalah penonton, seperti halnya para wisatawan genosida. Hanya Khilafah yang akan membebaskan umat dari segala derita, menjadi perisai (junnah) dan pengelola urusan umat (ra’in). Tsumma takuunu khilaafatan a’la minhajin nubuwwah.