Domino Raksasa Judol dalam Sistem Kapitalisme
Oleh : Syafa Arshinta Nabila
Aktivis Mahasiswa
Lensamedianews.com__ Adalah fakta bahwa fenomena judi online atau judol masih menjadi permasalahan yang tak kunjung usai dalam negara kita. Wacana dan visi Indonesia Emas 2045 rasanya masih sulit bahkan untuk sekedar dibayangkan. Menurut data demografi, pemain judol yang berusia di bawah 10 tahun mencapai 2% dari pemain, dengan jumlah 80.000 orang. Sebaran pemain usia 10—20 tahun sebanyak 11% atau kurang lebih 440.000 orang, kemudian usia 21—30 tahun sebanyak 13% atau 520.000 orang. Pemain usia 30—50 tahun sebesar 40% atau 1.640.000 orang dan usia di atas 50 tahun sebanyak 34% dengan jumlah 1.350.000 orang.
Pada umumnya, fenomena judol ini cenderung menyasar pada masyarakat kelas ekonomi ke bawah. Tetapi nyatanya di Indonesia, judol bahkan juga telah menjadi bahan konten yang dipromosikan oleh para influencer di sosial media. Dimulai dari tiktoker Gunawan alias Sadbor yang menjadi tersangka hingga terancam hukuman 10 tahun penjara karena dugaan promosi judi online, berlanjut deretan artis juga diperiksa oleh Bareskrim karena dugaan promosi judi online. Salah satunya adalah Denny Cagur, artis yang kini juga menjabat sebagai anggota DPR RI itu mengaku telah menyerahkan semuanya ke polisi soal kelanjutan kasus dugaan promosi judi online itu (detikpop, Kamis 07-11-2024).
Penanganan Pemerintah
Fenomena judol yang semakin merajalela ini tentu saja mengundang perhatian di tengah masyarakat, terkait sejauh mana usaha pemerintah dalam menyikapi dan memberantas fenomena judol ini. Namun sayangnya, aparat pemerintahan yang seharusnya bertugas memblokir situs-situs judol tersebut, justru ikut terlibat dengan melindungi situs-situs judol dari pemblokiran.
Dikutip dari Kompas (01-11-2024) pada Jum’at 01-11-2024, kepolisian telah menetapkan 11 orang sebagai tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana judi online dan penyalahgunaan wewenang oleh pegawai di Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi). Pegawai kementrian tersebut diduga menyalahgunakan kekuasaan dengan melindungi 1000 dari 5000 situs yang seharusnya diblokir.
Sedangkan mantan Menteri Kominfo Budi Arie Setiadi, setelah polisi membongkar keterlibatan bekas anak buahnya dalam melindungi seribu situs judi online, dengan tegas membantah tahu tindakan mereka, apalagi ikuti terlibat melindungi judi online. Hal tersebut tidak jauh lebih baik apabila ia mengetahuinya, justru dengan begitu harus dipertanyakan performa kerjanya selama ini lalu dimintai pertanggungjawaban atas keterlibatan para pegawainya.
Fakta tersebut jelas menimbulkan keresahan bagi masyarakat. Dalam KUHP Baru atau UU 1/2023 menurut ketentuan Pasal 426 ayat (1) bahwa pelaku judi dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun atau pidana denda paling banyak kategori VI (Rp2 miliar). Juga Pasal 427 bahwa orang yang menggunakan kesempatan main judi yang diadakan tanpa izin, dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun atau pidana denda paling banyak kategori III (Rp50 juta). Namun nyatanya sanksi dalam hukum positif di Indonesia saat ini belum juga mampu membuat pelaku judi jera. Hal tersebut dapat dilihat dari kasus judol yang belum juga mendapat penyelesaian sejak beberapa tahun lau, bahkan justru menjadi kasus sistemis yang semakin meluas.
Judol dalam Sistem Islam
Sungguh miris melihat bagaimana negara dengan mayoritas penduduk muslim terbesar justru bergulat dengan fenomena judi online, yang jelas dilarang oleh Allah dalam Al-Qur’an. Ide kebebasan yang diterapkan sekarang dan tingkat kritis masyarakat yang rendah.dalah salah satu faktor penyebab masyarakat sekarang mampu menggunakan segala cara demi meraih keuntungan, termasuk melanggar aturan agama.
Islam telah mengatur segala system dalam tatanan kehidupan. Peraturan ekonomi dalam Islam tidak mengizinkan celah bagi transaksi-transaksi yang diharamkan syariat, termasuk judi, apa pun bentuknya, baik online maupun offline. Peran kontrol masyarakat untuk beramar makruf nahi mungkar ketika terjadi kemaksiatan di sekitar mereka juga akan dijalankan dalam negara Islam. Negara juga memiliki kewajiban untuk mengedukasi masyarakat melalui berbagai jenjang sistem pendidikan, baik formal maupun nonformal, dan menerapkan aturan tegas dalam rangka merevolusi konten digital yakni melalui pemanfaatan teknologi berbasis akidah Islam. Selain itu, sistem sanksi bagi para pelaku judi adalah yang bersifat zawajir (mencegah) dan jawabir (penebus dosa), bukan hanya sanksi formalitas. Dengan segala peraturan tersebut, fenomena judol seperti saat ini pasti akan diatasai dengan baik secara sistematis.