Sebar Testimoni Skincare, Bolehkah?
Oleh: Nurmaningsih
Pegiat Literasi
LenSaMediaNews.com__Dunia per-skincare-an memang sangatlah mudah digandrungi oleh para wanita muda masa kini. Bagaimana tidak, begitu mudah bagi siapapun melakukan penjualan tanpa harus buka toko terlebih dahulu. Tinggal akses internet, buka Facebook, WhatsApp, Instagram, dan lain-lain lalu memasarkan produk-produk yang mau dijual, termasuk jualan skincare atau bodycare. Makanya banyak orang beralih jadi penjual online skincare tersebut, termasuk emak-emak.
Namun di balik kecanggihan dunia per-online-an, tak sedikit warganet melakukan kekeliruan atau abai dalam memperhatikan rambu-rambu Islam dalam berdagang atau berjualan. Mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan oleh seorang penjual ataupun pembeli. Terkadang saking ingin jualannya laris, ada sebagian yang menghalalkan segala cara. Misalkan untuk membuktikan kualitas suatu produk skincare yang dijual, bahwa itu benar-benar berkhasiat, lantas menyebarkan testimoni-tesmoni para wanita yang auratnya tersingkap. Entah itu gambar atau foto bagian kakinya, betisnya, pahanya yang mulus ataupun rambut kepalanya yang hitam dan lurus.
Sadarkah wahai perempuan? Bahwa semua itu bisa mendatangkan dosa jariyah, dan membuat jualan menjadi tidak berkah. Setengah mati mencari uang untuk keluarga, malamnya juga begadang demi menghidupi diri atau sekedar membantu perekonomian keluarga. Tapi yang didapat hasilnya nihil, malah yang didapat cuma dosa dan rasa lelah.
Memperlihatkan keberhasilan memakai produk skincare di beranda media sosial misal di Facebook, story WhatsApp, IG, Tiktok dan lainnya, dengan menampakkan wajah yang glowing tapi rambutnya kelihatan juga tanpa ditutupi sama sekali, termasuk keharaman. Sebaiknya itu diedit saja. Bagian auratnya harus dihijabi atau ditutupi. Tidak ada sama sekali yang melarang jualan skincare dan bodycare, atau memberikan kesan baik tentang suatu produk yang telah dipakai. Kalaulah memang sudah ada label BPOM, halal dan thoyyib kenapa tidak?
Perlu diketahui bahwa sesama wanita pun harus ada batasannya. Batas aurat seorang Muslimah di depan wanita non-Muslim berbeda dengan wanita Muslim. Sebagian ulama berpendapat, wanita non-Muslim tidak termasuk kalangan yang dibolehkan melihat perhiasan seorang wanita Muslim. Maka, hukum di hadapan wanita non-Muslim dihukumi seperti di hadapan lelaki nonmahram.
Ibnu Katsir berpendapat, seorang wanita Muslim boleh menampakkan perhiasan (aurat) kepada wanita Muslim yang lain. Namun, ia tidak dibenarkan memperlihatkan aurat kepada wanita non-Muslim. Agar wanita non-Muslim tidak menceritakan aurat wanita-wanita Muslim kepada suami dari para wanita non-Muslim tersebut.
Ibnu Abbas RA termasuk sahabat yang melarang aurat wanita Mukminah dilihat perempuan Yahudi dan Nasrani. Alasannya, takut wanita non-Muslim tersebut akan menceritakan kepada lelaki lain dan suami mereka tentang apa yang mereka lihat.
Umar bin Khattab RA semasa menjadi khalifah juga melarang para wanita Muslim bercampur dengan wanita non-Muslim di dalam pemandian. Hal ini terungkap dalam suratnya kepada Abu Ubaidah bin Jarrah yang menjadi gubernurnya. Pendapat ini diamini oleh jumhur ulama.
Perlu kembali diingat, bahwa aurat wanita itu harus ditutupi, “wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, ‘Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun, lagi Maha Penyayang.” (TQS. Al-Ahzab: 59)
Pada hakikatnya berdagang atau berjualan itu bukan cuma urusan dunia saja tapi untuk akhirat. Kalau sesama wanita saja ada batasan auratnya, lebih-lebih kepada laki-laki yang bukan mahram harus benar-benar dijaga auratnya. Dan bagaimana bisa mendapatkan berkahnya dalam berdagang atau berjualan kalau yang Allah sudah tetapkan haram tapi tetap saja diabaikan, seperti menampakkan aurat di sosial media.
Wallahu a’lam bishawab. [LM/Ss]