Penebangan “Pohon Beringin”, Bukti Deklinasi Fungsi Ormas

 

Oleh: Diana Kamila 

Mahasiswi STEI Hamfara

 

LenSaMediaNews.com – Publik dikejutkan dengan mundurnya Airlangga sebagai ketum Golkar. Dikutip dari BBCNews, dalam video resmi yang disiarkan Partai Golkar di Jakarta, Minggu (11/08), Airlangga resmi mundur dengan alasan menjaga keutuhan Partai Golkar, dan memastikan stabilitas selama transisi pemerintahan dari presiden RI Joko Widodo ke presiden terpilih Prabowo Subianto. Hal ini menimbulkan tanda tanya dan spekulasi di tengah publik. Banyak yang menganggap peristiwa politik ini, sebagai upaya Joko Widodo menguasai partai berlambang pohon beringin, setelah turun dari kursi presiden.

 

Namun spekulasi yang bermunculan berkaitan dengan Presiden Jokowi, dibantah tegas oleh pihak Istana  “mundurnya Airlangga tidak ada kaitannya sama sekali dengan Presiden,” kata Koordinator Stafsus Presiden, Ari Dwipayana, Senin (12/08).

 

Faktor yang Tersirat

Di samping bantahan pihak Istana, para pengamat politik mulai menyusuri faktor yang melandasi mundurnya Airlangga secara tiba-tiba. Meskipun masih berupa teori, tetapi bisa terlihat dari pola politik yang terjadi, diantaranya :

Pertama, perebutan kursi ketum

Tidak bisa dipungkiri, perebutan jabatan dalam sebuah partai adalah dinamika yang kerap terjadi di dunia politik. Demikian pula yang terjadi pada partai Golkar. Bisa dikatakan, kekuasaan tertinggi memiliki peran besar untuk mengendalikan sebuah partai. Maka tak heran, kursi ini selalu menjadi rebutan mereka yang haus kekuasaan.

 

Kedua, fraksi yang kompleks dan kepentingan elit

Golkar merupakan partai besar yang memiliki banyak fraksi. Di mana fraksi yang banyak ini, memiliki kepentingan masing-masing yang memungkinkan berada di balik mundurnya Airlangga. Orang-orang Golkar tidak hanya terikat dengan kepentingan politik saja, tapi juga pemerintah. Itulah yang juga membuat satu sama lain saling berkompetisi.

 

Ketiga, Pilkada dan kepentingan Jokowi

Hubungan keluarga Jokowi dan PDI Perjuangan sudah tidak mesra lagi sejak Pilpres bergulir. Sejauh ini, Jokowi akan segera turun dari kursi presiden dan Gibran akan naik sebagai wakil presiden. Namun keduanya tidak memiliki kendaraan politik, tapi masih memiliki ambisi untuk memiliki pengaruh. Lantas mengapa pilihannya justru jatuh ke Golkar? Salah satunya karena Golkar memiliki kesamaan karakter dengan partai yang mengusung pembangunan dengan jokowi. Artinya kebijakan-kebijakan yang dilahirkan jokowi, yang pro pembangunan dan infrastruktur, secara ideologi lebih dekat ke partai berlambang pohon beringin tersebut. 

 

Berkaitan dengan Pilkada, semua orang punya kepentingan, apalagi Golkar sebagai pemenang kedua di pileg (pemilihan legislatif). Suaranya besar dan banyak tentu menjadi kekuatan, yang kelihatannya ingin digunakan orang lain untuk pilkada. Berkaitan dengan hal ini, jelas Jokowi punya kepentingan untuk bisa menduduki posisi yang strategis dalam sebuah partai. Terlebih lagi, anaknya Kaesang harus mendapat tiket untuk bisa maju ke Pilkada dalam waktu dekat. Hanya saja persyaratan batas minimal usia calon kepala daerah tidak dapat dipenuhi oleh sang putra. 

 

Deklinasi Fungsi Ormas

Demikianlah fenomena yang terjadi pada Partai Golkar. Tentu hal ini tidak hanya terjadi pada satu partai saja, melainkan suatu hal yang lumrah terjadi di partai-partai lainnya. Mengenai fungsi partai acap kali disalahfungsikan, sebagai kendaraan tumpangan untuk meraih sebuah kekuasaan. Tak heran, banyak sekali politikus yang sibuk gonta-ganti haluan partai sesuai dengan kepentingan yang dituju. Sungguh sarat akan keserakahan para oligarki eksternal, serta pragmatisme internal partai politik sendiri. Lagi-lagi orientasinya hanya sebatas materi, sungguh inilah gambaran ormas dalam sistem kapitalisme. 

 

Lantas bagaimana dengan fungsi ormas dalam sistem Islam? Dalam Islam, politik memiliki makna pengaturan urusan umat, di dalam dan luar negeri, dengan hukum Islam. Di mana penguasa memiliki kewajiban menerapkan Islam secara praktis, dan rakyat melakukan pengawasan terhadap kebijakan pemerintah agar selalu berjalan sesuai koridor syara’. Maka dari itu, pada dasarnya fungsi partai politik tidak lain melakukan pembinaan umat dengan Islam, sekaligus melakukan amar ma’ruf nahi mungkar khususnya ke penguasa. 

 

Partai politik dalam Islam, juga bisa menjadi jenjang untuk menduduki kekuasaan pemerintahan melalui rakyat, dengan syarat asasnya adalah hukum-hukum syara’. Pendirian partai politik tidak memerlukan izin negara. Negara Islam melarang setiap perkumpulan yang tidak berasaskan Islam. 

 

Sebagai umat Islam, sudah seharusnya kita bergabung dalam sebuah jamaah yang menyeru pada penerapan Islam kafah. Melakukan amar ma’ruf nahi mungkar terhadap umat maupun penguasa yang zalim, sebagaimana yang telah difirmankan Allah di surah ali Imran ayat 104:

“Hendaklah ada di antara kamu segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.”

Wallahua’lam bishowwab.

Please follow and like us:

Tentang Penulis