Target Pajak Menggila, Rakyat Kian Sengsara
Oleh : Ummu Haidar
LenSa Media News–Target penerimaan pajak dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025 diusulkan sebesar Rp 2.189,3 triliun. Ini adalah kali pertama dalam sejarah target pendapatan pajak Indonesia melewati batas Rp 2.000 triliun. Usulan tersebut disampaikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Jumat (16/8/2024).
Dikutip dari Buku II Nota Keuangan beserta RAPBN 2025 ditunjukkan bahwa penerimaan pajak Indonesia mengalami kenaikan di 2025 menjadi Rp2.189,3 triliun. Angka ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan penerimaan pajak pada 2023 yang tercatat sebesar Rp1.869,2 triliun.
Sedangkan jika dibandingkan dengan APBN 2024, penerimaan pajak tahun depan juga mengalami kenaikan bahkan sebesar 10,07% mengingat penerimaan pajak berdasarkan APBN 2024 sejumlah Rp1.988,9 triliun. (CNBC Indonesia.com, 16-08-2024).
Pajak Menyengsarakan Rakyat
Pemberlakuan kenaikan target pajak merupakan “jalan pintas” pemerintah dalam mendongkrak penerimaan negara. Upaya ini diklaim mampu memulihkan pertumbuhan ekonomi dan menjaga momentum ekonomi agar tetap berkelanjutan.Termasuk mengendalikan rasio utang pemerintah.
Sebagaimana diketahui, posisi utang pemerintah kembali mengalami peningkatan per akhir Juli 2024 yaitu mencapai Rp 8.502,69 triliun. Sedang, pembayaran bunga utang pemerintah direncanakan sebesar Rp 552,8 triliun dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025. Meningkat 10,8% bila dibandingkan tahun ini sebesar Rp 499 triliun.
Membesarnya jumlah utang dan cicilan bunganya inilah yang menjadi sinyal bahaya utang negara. Tanda keuangan negara tak sedang baik-baik saja. Gali lubang tutup lubang jadi ancaman nyata. Memperbesar penerimaan negara lewat pajak pun niscaya.
Hal yang jelas menambah beban rakyat. Mengingat untuk mengejar target penerimaan pajak, negara mengandalkan strategi ekstensifikasi dan intensifikasi. Ekstensifikasi berarti strategi penambahan jumlah wajib pajak yang notabene adalah rakyat. Sedangkan intensifikasi berarti optimalisasi penggalian penerimaan pajak dari obyek dan subyek pajak yang telah terdaftar di sistem otoritas pajak yang berarti makin banyaknya dana yang harus dikeluarkan rakyat guna menaati pajak.
Alhasil, meningkatnya target pajak sama artinya dengan pengurangan tingkat kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Alih-alih menjadi kebanggaan membayar pajak justru menyengsarakan.
Kapitalisme Menyuburkan Pungutan Pajak
Peningkatan pendapatan negara dari pajak merupakan dampak diterapkannya sistem ekonomi kapitalis yang meminimalisir peran negara dalam perekonomian. Kesejahteraan ekonomi rakyat ditentukan oleh mekanisme pasar dan pihak swasta. Hal tersebut dapat kita lihat dari fungsi pajak sebagai regulator (pengatur) dan budgeter (pembuat anggaran).
Fungsi regulator tercermin dalam keberadaan pajak sebagai alat untuk mengatur pelaksanaan kebijakan dibidang ekonomi dan sosial. Sedangkan fungsi budgeter menjadikan pajak sumber pendapatan negara. Maka wajar jika tiap tahun target pajak kian meningkat. Baik dari sisi jumlah wajib pajak, jenis pajak dan besaran pungutan pembayaran pajaknya. Akibatnya, pajak kian tumbuh subur di sistem kapitalisme.
Pajak Dalam Islam
Islam menentukan jika pajak (dharibah) diberlakukan pada kekayaan bukan penghasilan. Perbedaan pajak pada sistem kapitalisme dan sistem Islam nampak pada beberapa hal, yakni :
Pertama, pajak dalam Islam bersifat temporer. Hanya dipungut saat kondisi darurat dimana kas negara (Baitulmal) kosong maupun kurang. Jika kondisi negara kembali stabil, pungutan pajak pun dihentikan.
Kedua, pajak hanya boleh dipungut untuk pembiayaan aktivitas yang terkait dengan kewajiban kaum muslimin dan sebatas jumlah yang diperlukan saja. Pembiayaan tersebut misalnya berupa pembiayaan jihad dan sarana pendukungnya, pengadaan fasilitas umum yang menyangkut kemaslahatan orang banyak dan biaya penanggulangan bencana.
Ketiga, pajak hanya dipungut dari kaum muslimin dan tidak dipungut bagi non muslim. Karena pajak dalam Islam digunakan untuk membiayai keperluan yang menjadi kewajiban kaum muslim.
Keempat, pajak dipungut dari orang yang kaya saja diantara kaum muslimin. Parameter kaya dalam Islam memiliki kelebihan harta setelah memenuhi kebutuhan pokoknya dan kebutuhan lain bagi diri dan keluarganya menurut kelayakan di suatu wilayah.
Demikianlah, Islam memberikan hak negara untuk mendapatkan harta dalam memenuhi berbagai kebutuhan dan kemaslahatan dari kaum muslimin. Lantas masihkah kita bertahan dengan sistem rusak dan merusak yakni kapitalisme sekuler? Jika ia telah nyata menyuburkan pajak yang menyengsarakan rakyat. Wallahualam bissawwab. [LM/ry].