Beban Berat Ibu Akibat Regulasi Ambigu
Oleh: Ummu Fifa
(MIMم_Muslimah Indramayu Menulis)
LenSaMediaNews.com__Sebagai seorang Muslimah dan berkesempatan mendapatkan rezeki anak-anak, saya sangat berharap bisa merasakan surga Allah melalui jalur mereka. Karena sebagai seorang manusia, kadang kala kita tak sadar telah menumpuk lebih banyak dosa daripada pahala. Maka dari itu keberadaan seorang anak merupakan anugerah Allah yang harus kita jaga dari segala hal yang bisa merusak kesalehannya.
Namun saat ini mengondisikan mereka untuk menjadi anak saleh sangatlah berat. Ketikapun dalam keluarga, kita sudah mendidiknya dengan dasar ilmu agama, tak menjamin mereka tetap dengan kesalehannya saat mereka berinteraksi dengan lingkungan luar. Ini tersebab kondisi masyarakat yang individualis dan abai serta peran negara yang longgar terhadap pembentukan generasi berakhlak mulia.
Belum lama ini, Presiden Jokowi melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (UU Kesehatan) resmi mengatur penyediaan alat kontrasepsi bagi anak usia sekolah dan remaja (bisnis.tempo.co, 01-08- 2024).
Narasi ini menggambarkan secara tersirat, bahwa ada perilaku seksual pada anak usia sekolah dan remaja (di luar nikah), yang perlu dilakukan secara aman dan sehat. Dengan cara penggunaan alat kontrasepsi. Dan pemerintah memfasilitasi lewat pemberian layanan penyediaan alat kontrasepsi.
Menghadapi masalah seks bebas dan aborsi di kalangan pelajar dan remaja, pemerintah seharusnya memberikan solusi holistik pada anak usia sekolah dan remaja. Bukan malah terkesan reaktif dan menyuguhkan solusi yang justru memperburuk kondisi pergaulan mereka.
Penunaian kewajiban dalam penyediaan layanan kesehatan reproduksi dengan menyediakan alat kontrasepsi untuk anak sekolah dan remaja atas nama seks aman, akan mengantarkan pada liberalisasi perilaku. Meski diklaim aman dari persoalan kesehatan, namun rentan membukakan jalan menuju perzinaan yang hukumnya haram. Bentuk kemaksiatan ini akan berujung pada kerusakan masyarakat serta kehancuran moral dan peradaban manusia.
Diperparah dengan penerapan sistem pendidikan sekuler yang menjadikan kepuasan jasmani sebagai tujuan. Norma-norma agama diabaikan, digantikan hawa nafsu sebagai pengendali kehidupan yang menyebabkan standar baik-buruk, benar-salah menjadi absurd.
Sangat jauh berbeda dengan mekanisme pendidikan seksual dalam Islam. Negara Islam akan memastikan setiap individu muslim menjalankan akidahnya. Hanya Allah yang menjadi tujuan setiap aktivitasnya. Keluarga-keluarga muslim pun akan menjalankan proses pendidikan seksual pada anak-anaknya dengan cara mengenalkan rasa malu, mengajarkan batasan aurat, memisahkan kamar tidur antara anak laki-laki dan perempuan, serta mengenalkan batasan ruang pribadi antara orang tua dan anak-anak.
Dibarengi dengan penerapan sistem pendidikan dalam masyarakat yang mengarah pada terwujudnya generasi yang tidak hanya menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, namun juga memiliki ketakwaan yang baik kepada Allah Swt. Negara pun senantiasa mendorong budaya amal ma’ruf dan melarang masyarakat bersikap acuh tak acuh.
Didukung oleh peran penguasa yang mengondisikan setiap regulasi kebijakan yang diterapkan sejalan dengan Al-Qur’an dan As-Sunah. Media-media informasi baik daring maupun luring dikelola hanya untuk tujuan mewujudkan manusia cerdas, beradab dan bertakwa. Selanjutnya, sebagai jalan pamungkas negara akan menerapkan sistem sanksi secara tegas bagi siapa saja yang melanggar aturan tanpa pandang bulu.
Solusi holistik seperti ini hanya bisa diwujudkan ketika aturan Islam diterapkan secara kaffah oleh negara. Hasilnya akan nampak sebuah generasi ‘pikcer’ (pikiran cemerlang) bukan ‘piktor’ (pikiran kotor). Jika sudah begini, orang tua pun, terutama ibu, akan sangat terbantu dalam menunaikan tugas mencetak anak-anak yang saleh. Wallahua’lam bishawab. [LM/Ss]