Masihkah Berguna Peringatan Hari Laut Sedunia?

Oleh: Rut Sri Wahyuningsih

Institut Literasi dan Peradaban

 

LenSa Media News–8 Juni 2024 bertepatan dengan peringatan Hari Laut Sedunia (World Oceans Day). Tujuannya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga ekosistem lautan. Peringatan ini ditetapkan melalui Resolusi 63/111 tanggal 5 Desember 2008, Majelis Umum PBB . Sedangkan konsep awal peringatan ‘Hari Laut Sedunia’ pertama kali diusulkan pada tahun 1992 pada KTT Bumi di Rio de Janeiro.

 

Menurut PBB, Hari Laut Sedunia ini menjadi momentum penting untuk terus mengingat bahwa 70 persen total luas permukaan planet bumi adalah laut. Dengan begitu, menjaga kelestarian dan keberlanjutan laut beserta ekosistem yang ada di dalamnya menjadi sangat penting.

 

Peringatan Hari Laut Sedunia 2024 mengusung tema ‘Awaken New Depths’ atau ‘Bangkitkan Kedalaman Baru’. PBB mengingatkan, 70% bumi ini terdiri dari air, 50% oksigen kita dihasilkan dari laut, laut juga menjadi kunci perekonomian, dengan perkiraan 40 juta orang akan dipekerjakan oleh industri berbasis kelautan pada tahun 2030.

 

Namun tidak bagi Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Susan Herawati, ia mengatakan ada dampak keberlanjutan ekologis sekaligus keberlanjutan sosial-ekologi-ekonomi masyarakat pesisir yang dalam ancaman serius, bahkan dalam jangka panjang dapat menghilangkan profesi nelayan tradisional di Indonesia (ohya.republika.co.id, 9/6/2024).

 

Mengapa bisa demikian? Susan kembali mengatakan ada ancaman bagi masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil terkait proyek tambang nikel yang dibungkus dengan konsep hilirisasi nasional, tambang pasir laut dengan dalih pengelolaan hasil sedimentasi di laut.

 

Kemudian ancaman penangkapan ikan terukur yang akan meminggirkan masyarakat pesisir, yaitu nelayan tradisional, ada ekspor benih bening lobster dengan dalih penempatan untuk budidaya, dan industri konservasi yang merebut ruang-ruang pengelolaan tradisional nelayan dan masyarakat pulau kecil. Ekspansi hutan tanaman industri (HTI) yang dampaknya meningkatkan intensitas rob.

 

Inilah kerugian adanya pembangunan bercorak ekstratktif dan eksploitatif . Padahal, masih menurut Susan, nelayan dan masyarakat pesisir sangat bergantung pada laut sebagai sumber penghidupan dan kehidupan mereka. Selain proyek-proyek itu, masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil juga harus menanggung beban akibat pemanasan global.

 

Lantas apa gunanya peringatan Hari Laut Sedunia, jika hanya berakhir di slogan dan pertemuan-pertemuan teoritis antar negara? Atau sekadar bakti sosial bersih pantai? Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Abdul Muhaimin Iskandar (Cak Imin) pun hanya mengatakan sebagai momentum tepat menyadari betapa besar anugerah yang terkandung di dalamnya. Meski Cak Imin juga mengingatkan kita sebagai negara maritim untuk wajib menjaga kedaulatan maritim sebagaimana pendahulu negeri ini, jika tak punya metode yang tepat menuju ke sana apalah artinya? (detikNews.com, 8/6/2024).

 

Islam Solusi Hakiki Kedaulatan Negara

 

Kembali peringatan Hari Laut Sedunia berakhir seremonial. Tak ada langkah nyata dunia terkait penanganan yang benar terhadap laut, kekayaan dan potensi di dalamnya. Sebab, menjadi paradoks, negara barat , dalam hal ini diwakili PBB menggagas peringatan tapi di sisi lain terus memberi tekanan kepada negara lain untuk terus mengikuti arahan mereka, mengeksploitasi tanpa batas. Hanya supaya mereka hidup dan kita mati kelaparan di lumbung sendiri.

 

Kapitalisasi laut dan segala potensinya, tak hanya merampok kekayaan negeri tapi juga ruang hidup masyarakat, terutama yang paling rentan menerima risikonya yaitu perempuan dan anak. Jika kemudian justru negara yang menjadi fasilitator masuknya para investor pengelola laut dan segala isinya maka benarlah, rakyat dalam kondisi yatim atau auto pilot dalam mewujudkan kesejahteraan. Astaghfirullah.

 

Padahal dalam Islam, seorang pemimpin wajib amanah dan dialah pihak yang paling wajib melindungi serta menjamin rakyatnya sejahtera. Rasulullah Saw. bersabda, “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari).

 

Apalagi laut adalah  salah satu harta kepemilikan umum yang haram diserahkan kepada pihak kedua. Wajib dikelola oleh negara sendiri dan hasilnya dikembalikan kepada rakyat baik dalam bentuk pembukaan lapangan pekerjaan maupun pembiayaan fasilitas umum bagi rakyat seperti sekolah, rumah sakit, jalan dan lainnya. Rakyat yang memiliki keahlian baik sebagai nelayan ataupun peternak ikan dan lainnya akan didorong pengembangannya oleh negara. Negara menyediakan modal, bibit, alat, hingga penyuluhan.

 

Negara tidak akan bersandar pada kebijakan global, yang sejatinya hanya kamuflase, sebaliknya berdaulat penuh dan memberikan sanksi dengan tegas setiap kali ada pelanggaran wilayah kelautan dan tindakan kriminal lainnya.

 

Mindset berbeda inilah yang menjadi keunggulan sistem Islam. Baik dari sisi kepemimpinan maupun kewenangan pengurusan urusan rakyat. Wallahualam bissawab. [LM/ry].

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Please follow and like us:

Tentang Penulis