Film Religi dalam Kemasan Kapitalisasi Industri
Oleh : Yuke Octavianty
Forum Literasi Muslimah Bogor
Lensa Media News – Viralnya beragam tayangan religi yang mengusung berbagai tajuk, menjadi tontonan yang disuka. Berbagai drama dan kisahnya, banyak yang menguras air mata. Diklaim, film-film ini sebagai jalan dakwah untuk mensyiarkan syariat Islam. Namun, mengapa semua yang tersaji justru jauh dari standar shahih?
Tayangan Religi=Tayangan Edukasi?
Animo masyarakat untuk lebih mengenal syariat Islam patut diacungi jempol. Berbagai wadah dan sarana diciptakan untuk memenuhi berbagai keingintahuan yang begitu membuncah. Salah satunya disajikan berbagai film yang mengusung kisah religi. Dan trend ini salah satu yang banyak digemari. Bahkan di bioskop, setiap kursinya selalu terisi setiap hari.
Tengok saja film yang berkisah tentang perjalanan seorang muslimah yang berhijrah dan menikah dengan putra seorang ustadz ternama. Film “172 Days” yang kini tengah menyedot perhatian masyarakat (kompas.com, 18/12/2023). Tujuan pembuatan film diklaim sebagai jalan untuk mengambil pembelajaran atau ibrah dari suatu perjalanan hidup seseorang.
Banyak sekali film dengan tema senada, menyedot perhatian dan keingintahuan masyarakat tentang ajaran Islam dan segala bentuk aturan yang ada di dalamnya. Tak hanya film, sinetron religi pun menjadi favorit masyarakat di tengah gempuran berbagai masalah kehidupan. Apalagi saat moment Ramadhan. Namun sayangnya, berbagai tayangan ini menabrak hukum-hukum dasar syariat. Banyak pendakwah yang justru malah menjadi promotor atau bahkan pemain dalam tayangan-tayangan tersebut. Padahal, adegan yang ada di dalamnya memperagakan interaksi hubungan suami istri secara detil dan dekat. Adegan ini pun diperankan oleh para bintang yang statusnya bukan mahram.
Tipuan Industri ala Kapitalis Sekuler
Tentu saja, tayangan-tayangan semacam ini mengundang kontroversi masyarakat. Di satu sisi diklaim mengedukasi masyarakat tentang syariat. Namun, di sisi lain, ada pelanggaran hukum syariat Islam secara jelas. Parahnya lagi, ada dukungan pendakwah dalam tayangan-tayangan tersebut. Seolah sah-sah saja, interaksi antara dua manusia non mahram yang memperagakan kehidupan suami istri secara detil dan terang-terangan.
Salah satu kaidah beragama yang juga harus kita perhatikan
“Tujuan baik, tidak serta merta menghalalkan segala cara“
Retorika kebaikan mengemas sesuatu yang buruk hingga tampak indah dan menyejukkan. Tentu saja, hal ini akan menjerumuskan umat pada kemaksiatan serta kezaliman.
Fakta yang ada dalam tayangan-tayangan ini adalah hitungan untung rugi para kapitalis industri perfilman. Alih-alih memberi pembelajaran, justru yang disajikan adalah kemaksiatan. Karena begitu banyak adegan yang menabrak hukum syariat secara terang-terangan.
Inilah fenomena sistem sekularisme kapitalistik. Konsep yang mengusung pemisahan agama dari kehidupan dengan mengagungkan nilai kebebasan. Dan semuanya hanya dilandaskan pencapaian keuntungan secara materi.
Kapitalisme sangat konsisten dengan semua konsepnya. Konsep yang tidak memiliki standar yang jelas. Semua diadopsi demi tujuan keuntungan materi. Berbagai cara diterapkan. Bahkan dengan menjadi “penumpang gelap” rasa ingin tahu masyarakat akan hukum syariat.
Semestinya para pendakwah pun menjadi alarm pengingat masyarakat. Bukan malah ikut “nyemplung” menjadi penikmat tontonan yang didominasi syahwat. Para pendakwah pun mestinya lebih waspada dengan setiap detil tindakan sebelum dilakukan. Karena setiap pendakwah yang juga public figure pasti akan menjadi sorotan masyarakat. Baik buruknya menjadi nilai yang dijadikan teladan bagi masyarakat secara umum. Setiap perbuatan yang dilakukan selalu dijadikan asumsi benar dalam benak masyarakat. Padahal nyatanya jelas-jelas melanggar aturan syariat.
Islam Menjaga Edukasi
Rasulullah SAW. bersabda,
“Sesungguhnya ilmu hanya bisa diraih dengan cara belajar ” (HR. Thabrani, Al Baihaqi)
Pembelajaran adalah proses panjang yang mampu menciptakan maklumat sabiqot dan menciptakan standar benar salahnya perbuatan sesuai standar yang shahih, yakni syariat Islam. Dalam hal ini butuh waktu yang intensif dan istiqomah agar mampu mendapatkan ilmu yang benar tentang hidup dan kehidupan. Tidak hanya sekedar tontonan yang tidak ada landasan ilmunya.
Edukasi setiap individu rakyat merupakan kewajiban negara. Edukasi yang senantiasa berlandaskan pada akidah Islam. Standarnya jelas dan tidak bias. Sehingga masyarakat mampu dengan mudah membedakan antara perbuatan halal dan haram. Dan semua ini hanya mampu diwujudkan dalam sistem Islam berinstitusikan khilafah. Karena dalam khilafah, umat adalah kumpulan individu yang memiliki sebentuk pemikiran dan wajib dijaga. Dari pemikiran yang shahih akan tercipta tindakan-tindakan sesuai syariat yang telah ditetapkan. Tidak bisa ditawar atau sekedar diluweskan karena mengikuti keinginan atau tujuan bisnis dan keuntungan.
Wallahu a’lam bisshowwab.
[LM/nr]