Haji Kian Pelik dalam Pusaran Kapitalistik

Oleh: Yuke Octavianty
Forum Literasi Muslimah Bogor

Lensamedianews.com, Opini – Biaya haji diusulkan naik lagi. Kenaikan yang ditetapkan pun cukup fantastis, hingga mencapai Rp 15 juta per jemaah. Mengapa semua ini terjadi?
Kebijakan Absurd, Jauh dari Kepentingan Rakyat
Menteri Agama, Yaqut Qoulil Khemas mengusulkan adanya kenaikan biaya haji tahun 2024 dalam rapat kerja Kementerian Agama dan DPR RI, 13 November 2023 (ekonomi.bisnis.com, 13/11/2023). Biaya yang awalnya sekitar Rp 90 jutaan, akan naik menjadi Rp.105, 09 juta per jemaah. Usulan tersebut naik sebesar Rp 15, 04 juta dibanding tahun 2023. Kenaikan yang sangat drastis.
Wibowo Prasetyo, selaku Staf Khusus Menteri Agama bidang Media dan Komunikasi Publik, menyampaikan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah mengatur bahwa BPIH merupakan sejumlah dana yang diperuntukkan guna operasional penyelenggaraan ibadah haji. Skema pengusulan ibadah haji tahun 2024 pun akan  berbeda. Demikian diungkapkan Menteri Agama (liputan6.com, 13/11/2023). Pemerintah tidak lagi menghitung nilai manfaat dan komposisi besaran Bipih (nilai yang dibayarkan jamaah). Artinya tidak semua biaya harus disetorkan calon jemaah, lanjutnya.
Meskipun masih dalam bahasan panitia kerja, usulan tersebut dinilai terlalu mahal dan tidak wajar. Kenaikan biaya penyelenggaraan haji yang sangat drastis tentu memberatkan para calon jemaah. Tampak jelas, usulan tersebut sarat dengan kepentingan kapitalistik. Usulan ini pun tergolong absurd. Mengingat pemerintah Arab Saudi justru telah menurunkan biaya akomodasi haji sekitar 30% lebih murah dibandingkan tahun lalu (CNBC.com, 23/1/2023). Dikutip dari Gulf News, 15 Januari 2023, biaya paket haji dipangkas 30%. Hal tersebut dikonfirmasi oleh Perwakilan Kementerian Haji dan Umrah Arab Saudi Amr bin Reda Al Maddah.
Berbagai dugaan kerancuan pun mengemuka. Hal ini diperkuat dengan temuan KPK yang mengungkapkan, alokasi pengaturan dana haji dinilai tidak optimal dan tidak proporsional (kompas.com, 6/1/2023). Sehingga perolehan nilai manfaat ibadah haji jauh lebih kecil daripada yang semestinya didapatkan para calon jemaah.
Usulan kenaikan biaya haji, bukanlah keputusan yang bijak. Dalam Undang-Undang no. 8 tahun 2019, telah ditetapkan bahwa penyelenggaraan haji dan umroh tidak semata-mata masalah ekonomi saja. Haji dan umroh adalah hak setiap individu muslim untuk beribadah. Negara semestinya hadir dan memberikan pelayanan serta fasilitas terbaik untuk memudahkan warga negaranya dalam melaksanakan ibadah. Sayangnya, sistem kapitalisme telah memandulkan fungsi negara. Kekuatan negara justru dikendalikan pihak kapitalis oligarki yang memanfaatkan kekuasaan dan kewenangan demi keuntungan materi semata. Ibadah haji makin sulit dalam belitan tata kelola yang tidak memprioritaskan urusan ibadah rakyat. Niat ibadah rakyat pun jadi tersisihkan. Ibadah makin sulit karena sistem rusak kian membelit.
Islam Menjamin Kemudahan Ibadah Umat
Rakyat adalah prioritas utama dalam setiap pelayanan oleh negara. Termasuk penyelenggaraan ibadah yang wajib disiapkan negara secara optimal dan menyeluruh. Karena kebutuhan ibadah merupakan salah satu kebutuhan utama bagi seluruh rakyat.
Ibadah haji sebagai ibadah fisik membutuhkan dana yang tidak sedikit. Negara bertanggung jawab penuh atas penyelenggaraan haji, termasuk segala bentuk teknis serta pembiayaannya. Anggaran besar memang dibutuhkan dalam penyelenggaraan haji. Khilafah mampu mengatasi segala masalah tersebut dengan tetap mengutamakan kesejahteraan rakyat. Besaran biaya haji akan ditetapkan sesuai kesanggupan para jemaah tanpa memberatkannya.
Rasulullah saw. bersabda, “Imam (khalifah) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang diurusnya.” (HR. Bukhari).
Semua kebijakan yang ditetapkan khilafah ditetapkan untuk memenuhi tanggung jawabnya sebagai ra’in (pengurus umat). Bukan untuk mencari untung atas setiap ketidakberdayaan rakyat.
Beberapa program dijadikan ketetapan oleh khalifah. Di antaranya program pengaturan kuota haji dan umrah. Prioritas utama ditetapkan bagi umat yang belum pernah melaksanakan ibadah haji atau umrah. Sehingga tidak ada penumpukan jemaah. Selain itu, kebijakan tersebut dapat mengurangi masa pengantrian ibadah haji. Khilafah pun menetapkan tidak adanya kebijakan visa haji dan umrah, karena berada dalam satu kesatuan wilayah Daulah. Sehingga dapat mengurangi biaya haji.
Tak hanya itu, khilafah pun menyiapkan sarana dan prasarana haji demi kelancaran terselenggaranya ibadah. Semua dilakukan sebagai bentuk penghormatan terhadap para tamu Allah SWT. Seperti yang tercatat dalam sejarah. Yakni dibangunnya sarana transportasi massal (Hijaz Railway) dari Istanbul, Damaskus, hingga Madinah untuk mengangkut jemaah haji pada era Khilafah Abdul Hamid II. Sarana ini mampu memudahkan proses perjalanan haji umat muslim kala itu. Betapa sempurna pengurusan ibadah umat dalam tata kelola yang amanah sesuai syariat.
Wallahu a’lam bishshawab. [LM/Ah]
Please follow and like us:

Tentang Penulis