Solusi Tambal Sulam Ihwal Kekerasan Perempuan Dalam Sistem Sekularisme
Solusi Tambal Sulam Ihwal Kekerasan Perempuan Dalam Sistem Sekularisme
Oleh : Riri Rikeu
LenSaMediaNews.com – Ilusi pembebasan perempuan dari kekerasan dalam sistem sekularisme sangat jelas, karena justru akar masalah perempuan bersumber dari sistem sekuler yang meletakkan keberhasilan pada standar materi semata. Perempuan seringkali dianggap hanya sebagai komoditas yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan materi semata. Sehingga kedudukan perempuan yang memiliki fitrah untuk menjalani fase hidup seperti melahirkan, menyusui, membesarkan dan mendidik anak-anak seringkali dianggap sebelah mata.
Meskipun berbagai usaha telah dilakukan untuk menunjukkan bahwa perempuan bisa eksis dan bahkan bisa melebihi kaum laki-laki, kenyataannya kekerasan pun marak terjadi di sistem sekuler ini. Bahkan sebanyak 23,3 persen perempuan mendapatkan kekerasan dalam rumah tangga di kelompok masyarakat berpenghasilan tinggi, terutama di Amerika Utara, Uni Eropa, Korea Selatan, Jepang, Australia dan Selandia Baru (Republika.co.id, 21/06/2013). Tentu saja angkanya masih mungkin bisa bertambah pada tahun-tahun setelahnya. Oleh karena memang sejak awal landasan cara pandang terhadap posisi laki-laki dan perempuan itu telah salah akibat ideologi sekularisme.
Padahal, Islam menjelaskan bahwa kaum laki-laki dan perempuan di mata Allah swt sama saja, yang membedakan hanya ketakwaannya. Selain itu, toh pada faktanya, kekerasan bisa terjadi pada siapa saja bukan hanya perempuan, tetapi juga pada laki-laki hingga anak-anak. Bahkan saat ini bisa menimpa pada perempuan yang lebih muda berusia 15-24 tahun oleh pasangan mereka (bbc.com, 10/03/2021). Sehingga berbagai usaha yang dilakukan untuk membebaskan perempuan tidak akan berhasil selama sistem yang dipakai berasaskan sekularisme.
Salah satu yang sedang dipropagandakan oleh para aktivis perempuan adalah kampanye selama 16 hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan 2023 (16 days of Activism against Gender-Based Violence 2023). Acara tersebut berlangsung dari 25 November sampai 10 Desember yang bertujuan menunjukkan hubungan secara simbolik bahwa kekerasan pada perempuan adalah salah satu bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia. Rincian teknis bagaimana cara memperingati pun masih bersifat tambal sulam dan tidak mengakar karena hanya menyentuh aspek emosional dan perasaan semata. Padahal jika ingin mengubah suatu kondisi secara mendasar harus mampu mengenali bahwa akar masalahnya itu bukan terletak pada aspek kekerasan perempuan semata tapi lebih kompleks daripada itu. Masalah perempuan tidaklah terpisah dari bebagai sistem hidup dalam sebuah negara.
Hal ini sangat kontras dengan pandangan Islam terhadap perempuan. Islam memandang perempuan memiliki kedudukan mulia yang harus dijaga kehormatannya karena tidak dipandang sebagai komoditas materi. Dalam Islam telah diatur secara terperinci mengenai hak, kewajiban laki-laki dan perempuan secara seimbang dan adil. Kedudukan perempuan dan laki-laki sama di mata Allah swt kecuali yang membedakannya adalah ketakwaannya saja. Oleh karena itu, tidak akan ditemui dalam sistem Islam pihak yang merasa lebih tinggi derajatnya karena yang menjadi orientasi adalah pahala Allah.
Didukung dengan sistem pergaulan hidup dalam masyarakat yang digali dari sumber hukum syara, maka akan membuat kedudukan perempuan terjaga sesuai fitrahnya tanpa terbatasi kiprahnya di masyarakat selama diperbolehkan oleh dalil syara. Negara memiliki mekanisme aturan yang bisa mencegah dan memberikan efek jera terhadap berbagai pelanggaran hukum syara yang terjadi.
Hukum Islam menjadi solusi dari berbagai masalah hidup termasuk pada masalah perempuan. Sehingga bisa menjamin kesejahteraan dan hidup yang aman dan damai. Tidak seperti sistem saat ini yang membuat perempuan harus bersusah payah untuk mendapatkan jaminan kehidupan dan keamanan.
Wallahu’alam bishawwab.