Oleh: Ika Nur Wahyuni

LenSa Media News _ “Aku akan menikahimu, Mahreen.”
Matanya berbinar-binar saat mengatakannya. Sorakan teman-teman membuatku sangat malu. Tapi seolah tidak peduli dengan hal itu, dia malah tersenyum sambil mengedipkan sebelah mata padaku. Sorak-sorai tambah bergemuruh, bahkan tepukan tangan menggema di ruang kelas kami. Aku mendengus sebal, kugamit lengan Fareeha dan mengajaknya keluar dari sana.

“Aish, ada apa denganmu, wahai Mahreen? Mengapa pipimu memerah seperti tomat? Apakah kau mau menikah dengannya?”

Kucubit pipi Fareeha sambil berkata, “Apakah kau mau mempertaruhkan persahabatan kita dengan ikut-ikutan meledekku, wahai sahabatku berpipi gembul?”

Fareeha meringis sambil menangkupkan kedua tangan di depan dadanya. Seraya berkata, “Tentu tidak, wahai humairahku. Aku hanya mengatakan keadaanmu yang sesungguhnya. Apakah harus kutunjukkan wajah merahmu di depan cermin?”

“Berhentilah bercanda! Ada banyak pelajaran yang harus kita diskusikan karena Ustadzah Rashida akan kecewa jika tahu buku kita masih kosong. Tugas kita masih belum selesai,” aku berkata tegas.

Kami pun segera berlari menuju perpustakaan sederhana di sekolah kami yang kecil. Aku dan Fareeha bercita-cita menjadi seorang ahli medis karena hal ini sangat penting di tanah air kami yang terjajah ini. Ya, kami tinggal di tepi Gaza, Palestina.

Seperti hari ini, Ustazah Rashida sedang bercerita tentang kehebatan Muhammad Al Fatih yang mampu menaklukkan Konstantinopel. Di tengah Ustazah bercerita, ada yang mengangkat tangannya tinggi-tinggi.

Dia berkata, “Ustadzah, salah satu cita-citaku adalah untuk membebaskan Al Aqsa dari tangan Israel laknatullah.” Teman-teman kami pun riuh menimpali dengan kalimat yang sama.

“Lalu apa cita-citamu selanjutnya, wahai anak muda? Apabila membebaskan Al Aqsa adalah salah satu cita-citamu,” ujar Ustazah Rashida. Mendadak hening dan semua mata tertuju padanya, ingin tahu apa cita-cita selanjutnya.

“Cita-citaku selanjutnya adalah menikahi Mahreen,” dia berkata sambil tersenyum kepadaku.

 

Saat itulah aku ingin menarik rambutnya yang berwarna kecoklatan karena membuatku malu di hadapan Ustazah Rashida dan teman sekelasku. Aku pun membenamkan wajahku ke dalam kedua tanganku yang terlipat di atas meja. Seketika suasana kelas menjadi riuh setelah hening sesaat, Ustazah pun tersenyum demi mendengar kalimat itu.

“Baiklah, mari kita doakan semoga apa yang dicita-citakan anak muda ini tercapai,” kata Ustazah Rashida sambil menengadahkan kedua tangannya dan diaminkan oleh seluruh temanku. Aku mendelik marah ketika kulihat Fareeha ikut mengamini.

Kenangan masa sekolah sepuluh tahun yang lalu terlintas ketika aku melewati bangunan yang kini sudah rata dengan tanah. Sekarang aku sudah menjadi seorang dokter, dan Fareeha menjadi perawat yang selalu setia mendampingiku.

 

Hari ini begitu sibuk karena Israel kembali menyerang wilayah kami, korban berjatuhan dari orang tua, anak-anak kecil, hingga bayi-bayi mungil.
Dadaku sesak setiap melihat tubuh-tubuh yang terluka, tangisan, dan ratapan dari orang-orang yang ditinggalkan oleh keluarga yang dicintai.

 

Aku hanya mampu bersimpuh di hadapan Allah SWT. di sela waktu istirahatku, mendoakan mereka yang terluka dan syahid, memohon diberikan kekuatan untuk menghadapi hari-hari yang terasa berat. Lantunan ayat-ayat suci tak lepas dari bibirku. Dan itu memberikan energi baru.

Ini sudah hari ketiga dan aku belum pernah sekalipun pulang ke rumah sejak konflik timbul kembali beberapa minggu yang lalu. Biasanya Abi atau Umi yang akan datang ke rumah sakit ini untuk memastikan bahwa putrinya baik-baik saja. Tapi hari ini kulihat keduanya ada disini. Hal yang amat langka mereka berdua bersama kemari.

Aku menyambut mereka dengan sedikit berlari kecil di lorong rumah sakit. Aku berkata,”Abi, Umi apa yang terjadi? Kalian terlukakah? Dimana Hasan dan Husein?”

“Kami baik-baik saja, putriku. Kedua adikmu kami titipkan pada paman Omair. Kami sengaja kemari karena ada hal penting yang ingin dibicarakan.” Abi berkata sambil menenangkanku.

Abi kemudian melanjutkan perkataannya,”Mungkin ini waktu dan tempat yang kurang tepat untuk membicarakan hal ini. Saat ini ada khitbah dari seseorang yang menginginkan dirimu untuk menjadi istrinya.”

“Abi, ini bisa kita bicarakan di rumah,” ujarku.

“Tidak bisa putriku sayang karena yang mengkhitbahmu, dia sudah berada di rumah beserta keluarganya dan dia menginginkan jawabanmu saat ini juga.”

“Tapi Abi, aku sedang bertugas dan tidak bisa kutinggalkan begitu saja.”

“Abi sudah meminta ijin kepada Dokter Rami untuk itu. Dan beliau mengijinkan.”

Dokter Rami adalah kepala rumah sakit ini.

 

Demi melihat wajah Abi dan Umi, akhirnya aku luluh juga. Sudah beberapa kali aku menolak lamaran karena aku hanya ingin mendedikasikan seluruh hidupku dengan kemampuan sebagai dokter demi mengobati para penjaga Al Aqsa yang terluka.

Sesampainya di rumah kulihat keluargaku sudah berkumpul. Aku pun bergegas masuk ke dalam kamar, kemudian membersihkan diriku dan memakai jilbab dan kerudung terbaik yang aku punya.

Aku pun keluar dari kamar dan menuju ruang tamu, seketika aku terpana demi melihat dia disana. Rambut kecoklatan yang saat itu ingin kutarik karena sering membuatku malu, saat ini ada di hadapanku. Senyumnya masih sama seperti sepuluh tahun yang lalu.

“Mahreen, hari ini di hadapan kedua orangtua dan kerabatmu, aku menginginkanmu menjadi istri dan calon ibu dari anak-anakku. Apakah kau bersedia?” Seperti biasa, dia tidak pernah berbasa-basi bila berkata.

Entah mengapa ketika mendengar dia mengatakan hal itu sekarang, aku hanya tertunduk malu, dadaku berdebar dan wajahku terasa hangat. Tidak seperti saat itu, aku tidak menyukainya.

Aku mencuri pandang kepadanya, Essam Ghayat Izzudin. Teman sekelasku yang kini sedang berusaha mewujudkan salah satu cita-citanya yaitu menjadikanku istrinya. Dia tersenyum ketika aku menganggukkan kepala sebagai tanda menerima khitbahnya. Terdengar suara tahmid dari lisan semua orang yang ada di ruang tamu. Senyumku semakin lebar ketika kulihat Fareeha ada diantara tamu, dia mengedipkan matanya.

Hari ini tepat tiga bulan aku menjadi istri Essam. Dan aku baru mengetahuinya bila suamiku adalah pejuang Hamas. Dan hari ini, dia berpamitan kepadaku untuk melakukan tugasnya.

“Yaa Humairah, ijinkan aku untuk melanjutkan cita-cita untuk membebaskan Al Aqsa dan mengusir Israel dari tanah air kita.”

“Pergilah, cari syahidmu di bumi para syuhada yang diberkahi ini. Aku akan setia menantimu kembali,” netraku mengembun saat mengucapkannya.

“Tersenyumlah wahai humairahku, agar hatiku tenang dan memberikan kekuatan. Aku hanya ingin mengingat senyumanmu saja bukan airmata,” ujarnya sambil menghapus airmataku.

Kemudian dia memelukku erat, mengecup kening dan ubun-ubunku. Memakai kufiya hingga hanya terlihat mata coklatnya yang bening. Aku mengantarkannya ke depan rumah. Kulihat beberapa orang sudah berada disana, menunggu suamiku. Mereka terlihat sangat menghormatinya.

Aku menarik tangan suamiku sebelum bergabung dengan timnya, membisikkan sesuatu kepadanya. Tiba-tiba dia mengangkat tubuhku dan menghujani dengan kecupan, kalimat tahmid tak henti keluar dari lisannya.

“Baiklah Hasan, Husein, dan Fatimah Abi tinggalkan kalian bersama Umi. Jagalah Umi kalian, buatlah dia selalu tersenyum. Abi berdoa kepada Allah, semoga kalian jadi anak-anak yang teguh, kuat, dan pemberani. Maafkan Abi bila tidak bisa mendampingi kalian kelak,” ucapnya lirih sambil mengelus perutku.

Airmataku luruh demi mendengar kalimatnya, seakan ini adalah waktunya berpisah. Aku mendekapnya erat, hatiku berat mengantar kepergiannya. Dia melepas pelukanku kemudian berjalan menuju ke dalam mobil yang menjemputnya. Dia melepas kufiya yang menutupi bibirnya, dia tersenyum. Kebahagiaan tampak di wajahnya.

 

Itulah saat terakhir aku bertemu dengannya. Setelahnya aku mendapatkan kabar dia syahid ketika Hamas berhasil menguasai jalur Gaza. Dengan keberanian yang luar biasa berhasil melumpuhkan tiga tank Israel meski jasadnya lebur bersama tanah terkena bom dari drone milik Israel laknatullah.

Hasan, Husein dan Fatimah tidak pernah merasakan kasih sayang dan pelukan Abinya. Tapi kutanamkan cita-cita dan jiwa-jiwa para syuhada ke dalam diri mereka. Hari demi hari memang kami lalui dengan sangat berat. Airmata mengalir terus menerus karena kami harus kehilangan sahabat, tetangga, kerabat bahkan keluarga kami. Tapi hati-hati kami tak pernah merasakan gentar ataupun takut.

Karena tertanam kuat di jiwa-jiwa kami bahwa kamilah penjaga Al Aqsa, kami adalah pejuang sejati, merdeka, berhati tulus. Yang kami perjuangkan bukan hanya tanah air, rumah, kemerdekaan tapi kami berjuang demi agama kami. Hanya Allah yang kami takuti sekaligus kami taati. Dan hanya pertolongan dariNya yang kami harapkan, karena para pemimpin negeri-negeri Islam telah lama mati. Kami tertatih, terluka, dan berjuang sendiri.

Mereka sibuk mengecam, mengutuk, mengirimkan bantuan tanpa berani mengirim pasukannya untuk melindungi kami, saudara seakidahnya. Ukhuwah islamiah yang ditanamkan insan mulia, Rasulullah Saw telah lebur bersama leburnya jasad-jasad kami.

 

***
وَلَا تَقُولُوا۟ لِمَن يُقْتَلُ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ أَمْوَٰتٌۢ ۚ بَلْ أَحْيَآءٌ وَلَٰكِن لَّا تَشْعُرُونَ
(Wa lā taqụlụ limay yuqtalu fī sabīlillāhi amwāt, bal aḥyā`uw wa lākil lā tasy’urụn)

Artinya: Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya. (QS. Al Baqarah : 154)

(LM/SN)

Please follow and like us:

Tentang Penulis