Kasus Rempang, Rakyat Jadi Santapan Oligarki

Oleh: Ida Lum’ah (Aktivis Muslimah Peduli Generasi dan Peradaban)
Lensamedianews.com, Opini – Bentrok aparat yang dipicu oleh proyek pembangunan pemerintah kembali terjadi di kota Rempang, Batam, kepulauanan Riau. Pada Kamis 7 September 2023, aparat keamanan memaksa masuk ke kampung adat untuk melakukan pemasangan patok batas. Saat aparat mulai masuk terjadi lemparan batu dari arah warga yang kemudian disambut semprotan gas air mata yang ditembakkan oleh aparat. Gas air mata dilaporkan masuk ke kawasan sekolah hingga belasan siswa harus dilarikan ke rumah sakit. (bbc.com, 07/09/2023)
Sebelumnya sebagian masyarakat adat menolak direlokasi. Yang terintegrasi proyek ini dimaksudkan untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi negara. Pengembangan pulau Rempang diawali dengan investasi produsen kaca terkemuka dari Cina yang berkomitmen berinvestasi sekitar 175 trilun rupiah. Untuk membangun fasilitas pasir kuarsa dan pasir Silika, serta ekosistem di lahan sekitar 450 hektar, dan dijanjikan akan mendapatkan rumah tipe 45, senilai 120 juta.
Bahkan undang-undang Ciptaker yang telah disahkan pemerintah beberapa waktu lalu semakin memudahkan penggunaan lahan, untuk proyek strategis nasional, dalam rangka mendukung pembangunan infrastruktur. Satrio Manggala yang merupakan manager kajian hukum dan kebijakan Walhi, berpendapat bahwa aturan tersebut telah memberikan keistimewaan atas nama kepentingan umum untuk mengambil alih tanah-tanah masyarakat.
Padahal menurutnya pemerintah belum melakukan evaluasi terhadap pendayagunaan, uang ganti rugi atas tanah milik warga yang digunakan untuk kepentingan umum. Dalam aturan tersebut pasalnya, hal ini masyarakat kerap kali kehilangan pekerjaan, dan sumber pencahariannya. Karena tanah yang biasa digunakan untuk menghidupi kehidupannya sudah tidak ada lagi. Ini cara-cara yang digunakan pemerintah dalam mengambil alih lahan warga, sering kali tidak manusiawi.
Sikap pemerintah semakin menunjukkan jati dirinya yang hakiki. Yakni sebagai regulator yang hanya berpihak kepada kepentingan korporasi, bukan melayani rakyat. Inilah ketidakadilan penguasa yang menerapkan sistem kapitalisme. Yang hanya menjadikan rakyatnya sebagai santapan empuk proyek oligarki.
Berbeda dengan pembangunan dalam Islam yang mampu mewujudkan kesejahteraan rakyat. Sebagai wujud tanggung jawab negara, negara sebagai ra’in atau pengurus rakyat. Rasullulah saw. bersabda: “Imam atau khalifah adalah ra’in atau pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya”. (HR Al-Bukhari)
Berdasarkan hadis tersebut, negara dalam Islam yakni Khilafah, harus hadir secara besar di tengah masyarakat yang sesuai aturan Allah SWT. Sebagai penanggung jawab seluruh urusan rakyatnya. Melalui penerapan syariat Islam secara kaffah pada seluruh aspek kehidupan. Karena fungsi dari pelaksanaan hukum syariat adalah mencegah dan mengantisipasi munculnya masalah konflik di tengah kehidupan manusia, juga menyelesaikan berbagai masalah yang terjadi dengan penyelesaian yang paling adil.
Pembangunan dalam Islam hanya ditujukan untuk kemaslahatan rakyat. Lahan-lahan yang digunakan dalam pembangunan pun dikembalikan pada status lahan yang mengikuti konsep pengaturan tanah dalam Islam. Islam menegaskan bahwa setiap lahan atau tanah sudah memiliki status kepemilikan yang ditetapkan oleh Allah SWT. Ada tiga jenis kepemilikan tanah. Pertama, tanah yang boleh dimiliki individu yaitu tanah pertanian atau ladang perkebunan. Kedua, tanah yang merupakan kepemilikan umum yaitu tanah yang di dalamnya terdapat harta milik umum seperti tanah hutan, tambang, dan berbagai infrastruktur umum. Islam melarang penguasaan oleh individu/ korporasi atau privatisasi atas tanah milik umum. Sebab hal tersebut akan menghalangi akses bagi orang lain memanfaatkan tanah tersebut sehingga memicu konflik. Ketiga adalah tanah milik negara, tanah yang wajib dikelola oleh negara sepenuhnya.
Kepemilikan tanah di dalam Islam harus sejalan dengan pengelolaannya. Islam menetapkan bahwa ketika ditemukan suatu tanah yang tidak tampak ada kepemilikan seseorang terhadapnya, maka siapa pun boleh memiliki tanah tersebut selama dia mau mengelolanya. Sebaliknya ketika suatu tanah yang sah dimiliki seseorang, namun sudah ditelantarkan hingga 3 tahun, naka hak kepemilikan atas tanah tersebut otomatis akan hilang dan menjadi milik negara. Pengaturan seperti ini akan menjaga kepemilikan seseorang atas tanah sekalipun tidak memiliki surat-surat tanah. Sebab kepemilikan itu sudah ditunjukkan dengan pengelolaan atas tanah tersebut. Jika negara ingin melakukan pembangunan di atas tanah milik warga. Maka negara harus mendapat izin dari warga. Jika warga menolak, negara tidak boleh memaksakan. Inilah pengelolaan tanah dan pembangunan dalam Khilafah yang akan membawa kesejahteraan bagi rakyat. Wallahu a’lam. [LM/Ah]

Please follow and like us:

Tentang Penulis