Putih Abu-abuku nan Haru Biru

 

Oleh : Sunarti PrixtiRhq

 

Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam telah bersabda, ”Rida Rabb terletak pada rida kedua orang tua dan murka-Nya terletak pada kemurkaan keduanya.” (Riwayat Ath Thabarani)

***

Ketaatan seorang anak terhadap orangtuanya diletakkan sedemikian kuat dalam aturan Allah SWT. Lantas sejauh manakah ketaatan ini berlaku pada anaknya? 

Apakah jikalau melanggarnya, untuk satu perbuatan yang mentaati hukum Allah, itu adalah kedurhakaan pada mereka (orangtua)? 

Inilah yang dialami Intan Nuraini, perempuan yang aku lamar untuk kujadikan istriku. Namun, mendapatkan penolakan yang keras dari bapaknya.

=================================

Astaghfirullah,” ucapku lirih.

Ingatanku melayang kembali ke masa sekolahku. Berbagai peristiwa menyapa lembut di akhir masa sekolahku. Di masa indah “Putih Abu-abu”. Masa remaja yang konon sangat indah. Jatuh cinta pada seorang dara yang cantik jelita. Seorang pemain basket perempuan yang terkenal di sekolah. Intan Nuraini, nama dara itu. Berparas cantik, bertubuh ramping dan berkulit putih seputih salju. Bagai gadis keturunan bangsa Arab.

 

Lekat sekali dalam ingatanku, pada saat aku beranikan diri mengutarakan cinta pada Intan.

“Intan, maukah kau menjadi pacarku? Sudah lama rasa ini aku simpan, namun aku tidak punya nyali mengatakan padamu. Kali ini aku tidak bisa menahannya lagi, Intan,” kataku mencoba menenangkan diri dari grogi yang tiba-tiba saja singgah.

 

Bukan apa-apa, sebenarnya aku telah tahu betapa pacaran sangat dilarang dalam Islam. Oleh karena di dalamnya pasti terdapat aktifitas mendekati dan bahkan melakukan zina. Namun, entah mengapa aku berani melanggarnya kali ini. Hingga setelah ucapanku pada Intan itu, rasa menggigil dalam tubuhku.

 

Wajah cantik dan teduh Intan tampak tersipu. Tapi tidak terucap sepatah katapun dari mulut mungilnya. Intan hanya tersenyum simpul dengan menundukkan pandangannya. Aku tidak mengerti, diamnya membuatku penasaran. Tapi sisi lain hatiku ada rasa tak tenang, entah apa itu. Apa karena juga terselip rasa takutku pada dosa? 

 

“Duh, Intan, apa maksud senyummu?” kataku berucap lirih.

Ada rasa nyeri-nyeri merayap di dadaku.

Astaghfirullah,” ucapku lirih. 

 

“Yan, sudahlah. Jangan bicara soal hati!” tiba-tiba dengan suara lembut Intan menjawab. 

 

Entahlah apa yang merayap di benakku dengan jawaban Intan. Rasaku gelisah bukan karena penolakannya, tapi rasa takut yang luar biasa bergelantung dalam dada. 

 

“Alasannya apa, In, kamu menolakku?” kataku tiba-tiba tanpa aku pikirkan. 

 

Kalimatku membuat Intan terkejut dan memandangku lekat. Matanya yang bulat membelalak tanda keheranan. Cukup lama Intan mengamatiku, seolah baru saja melihatku.

 

 “Aku tak habis pikir kenapa pria se-alim kamu, ehm .. Ah, sudahlah, lupakan!” kata Intan tegas.

 

Aku tersentak dengan kalimatnya, meskipun belum juga dia selesaikan kalimatnya namun dadaku berdegup keras. Kurasakan kebenaran pada kata-kata Intan. Mukaku terasa tertampar. Aku terdiam kelu tanpa bisa menjawab apapun. Tertunduk. Malu, takut, tapi mau. Entahlah.

 

“Intan, aku juga manusia biasa. Aku pria dewasa,” kataku tak bisa kukendalikan lagi dan suaraku tercekat di tenggorokan.

 

“Aku tahu, tapi menurutku tidak selayaknya kamu katakan itu,” jawab Intan dengan nada lembut.

 

Sekali lagi, bagai tersiram air panas mukaku. Kembali aku terdiam dan berusaha menahan napas yang kurasakan panas menembus hidungku. Aku kembali menunduk. Rasa malu dan takut kian merayap tanpa kupinta. Kenapa aku begitu bodohnya. Di mana pemahamanku selama ini? Astagfirullah.

 

“Sudah ya, Yan, aku pergi dulu,” kata Intan dengan sopan dan berlalu dari hadapanku.

Meskipun Intan berpenampilan tomboy, tapi tetaplah dia cewek cantik yang selalu menjaga kesopanan.

 

Selama ini, aku tidak pernah mengenal yang namanya jatuh cinta. Hari-hariku kuhabiskan dengan membaca, berkumpul bersama teman-teman mengaji dan menghafal ayat-ayat dalam Al Quran. Namun, entah dorongan apa yang membuat hari itu aku mendekati Intan hingga mengucapkan kata cinta padanya.

 

Rasa kecewa muncul dalam hatiku. Bukan pada penolakan Intan tapi pada diriku sendiri. Betapa aku telah melanggar keyakinan dan aturan Allah yang selama ini aku pegang. Akupun banyak bermunajat untuk memohon ampun pada Allah setelah peristiwa itu.

 

Menyesal? Entahlah. Bercampur rasa ini kian tidak menentu.

 

Efek merasa sangat bersalah, aku tidak punya nyali untuk seceria dulu sebelum peristiwa itu. Aku banyak menyendiri di ruang perpustakaan. Selain sebentar lagi akan menghadapi ujian, aku juga disibukkan dengan tambahan bimbingan. Akhirnya aku lepaskan kabar tentang Intan.

===============================

 

Intan Nuraini, nama seorang gadis cantik yang berasal dari sebuah kota kecil. Tinggal di salah satu kecamatan yang berada di Lereng Lawu. Gadis cantik, bermuka mirip keturunan Arab itu, duduk di bangku kelas dua belas, sebuah sekolah mentereng di kotanya dengan julukan SMA Favorit.

 

Hari-hari Intan dilalui dengan keceriaan bersama teman-temannya, untuk berkelana di dunia olah raga. Basket masih menjadi olah raga favoritnya. Intan menjadi pemain terkenal di kota tempat tinggalnya karena kepiawaiannya. Kota yang merupakan tempat Adriyan tinggal dan bersekolah.

 

Berbagai event pertandingan sudah dipastikan, bahwa tim dari sekolah Intan adalah pemenangnya. Nama Intan dan tim sekolah mengharum seantero Kabupaten.

 

Selain sebagai salah satu pemain basket, Intan adalah wakil ketua OSIS yang semakin menjadikannya sangat terkenal. Tak hanya karena kecantikannya, Intan juga terkenal dengan kepiawaian mengelola organisasi siswa di sekolahnya. Intan mampu mewujudkan OSIS menjadi sebuah organisasi yang benar-benar bermanfaat untuk para siswa sekaligus seisi sekolah. Itulah sosok yang dikagumi oleh Adriyan Saputra yang terkenal alim. Iya, dialah Intan Nuraini.

 

Kala itu, Intan benar-benar terpukul dengan sebuah kejadian yang sangat tidak terduga. Tiba-tiba teman sekelasnya yang kebetulan adalah ketua OSIS, menyatakan cinta dan mengajaknya berpacaran.

 

Bagaimana si idola sekolah ini tidak terkejut. Andriyan Saputra, cowok tampan yang sangat terkenal sebagai “anak alim” itu menyukainya. Adriyan yang berperawakan tinggi jangkung, berwajah maco, berambut hitam tebal, berhidung mancung dan berkulit kuning bersih.

 

Adriyan, si cowok idola di sekolah Intan sekaligus sekolahnya. Banyak cewek yang naksir padanya, bahkan adik kelas banyak juga yang sering menggodanya. Namun, tidak ada satupun cewek yang berhasil membuat Adriyan tertarik untuk mendekat bahkan sekedar meliriknya.

 

Sebenarnya si Jago Basket, Intan Nuraini ini juga sudah menaruh hati padanya sejak pertama duduk di bangku kelas sepuluh. Namun, karena tuntutan keadaan, Intan semakin lama semakin menyingkirkan rasa itu.

 

Satu hal yang dipahami oleh Intan, bahwa Adriyan tidaklah mungkin berpacaran. Ketika akhirnya Adriyan mengungkapkan cinta, sungguh sangat membuat Intan shock dengan kata-katanya di hari itu.

 

Kejadian itu justru membuat Intan mulai penasaran dengan kelompok kajian Adriyan. Kajian macam apa, hingga seorang idola yang terkenal alim menyatakan cinta?

“Cowok se-alim dia, adakah yang salah di kajiannya? Atau, memang diajarkan untuk demikian?” Penasaran bergolak di hati Intan. Sosok tangguh Intan tak pupus dalam belenggu tanda tanya. Dia mencari informasi ke sana dan ke mari tentang di mana Adriyan mengaji. Namun, rasa herannya semakin bertambah saat tidak ada satupun teman cowoknya bersedia menerangkan kajiannya padaku.

 

“Hubungi Ani saja, Intan!” atau “Hubungi Latifah saja, Intan!” atau hubungi siapa lagi, selalu begitu.

 

“Anak perempuan kalau mau ngaji, ya dengan perempuan. Sana cari Fitri!” selalu begitu jawaban dari teman-teman Adriyan.

 

Akhirnya Intan memutuskan untuk mencari cewek bernama Ani. Ternyata dia teman satu sekolah meskipun beda jurusan. Darinya, Intan berusaha mengorek keterangan tentang kajiannya. Rasa penasaran akan kealiman Adriyan yang tiba-tiba menyatakan cinta padanya, menjadikan Intan tertarik untuk mendetaili kajiannya. 

 

Lambat namun pasti, penasaran tentang Adriyan pun terjawab sudah. Sebagai manusia Adriyan juga punya naluri untuk mencintai dan dicintai. Namun saat itu bisa jadi Adriyan sedang di puncak emosi yang tidak bisa dikendalikannya. Untungnya, Intan tidak mengiyakan ajakannya, tapi justru dibuat terheran-heran dengan sikap Adriyan.

 

Semenjak saat itu juga, Intan merasakan perubahan sikap Andriyan yang cenderung diam dan menyibukkan diri dengan ujian serta pergantian pengurus OSIS. Hingga tak sempat lah Intan mengamati secara detail bagaimana sikap dia terhadapnya. Andriyan yang pendiam bertambah diam dan sering menghabiskan waktunya di perpustakaan atau di kelas-kelas bimbingannya.

 

Sementara Intan menyibukkan diri mengejar penasarannya itu. Tanpa diduga, Intan justru jatuh cinta pada perbincangan-perbincangannya, diskusi-diskusinya dengan Ani. Serasa menguak dunia baru bersamanya. Entah apa itu, yang jelas hatinya menjadi lebih tenang. Menemukan tujuan hidup yang semestinya.

 

Intan mulai merubah sikap dan penampilan. Dia meninggalkan baju-baju pendek dan aktifitas dengan teman-teman basketnya. Selain dia juga mempersiapkan ujian nasional, Intan juga mulai banyak mengkaji tentang Islam bersama Ani dan teman-teman barunya. 

 

Bukan, bukan lagi karena Adriyan, tapi kerena dia merasa tertohok setiap kali Ani menjelaskan dalil-dalil tentang pakaian, pergaulan dan banyak sekali yang mereka perbincangkan. Semua tentang Islam yang selama ini belum pernah sedikitpun Intan tahu. Setiap kali pertemuan rutin dengan Ani, Intan selalu merasa tercerahkan. Seringkali muncul rasa sesal juga menggelayut di hati Intan. Kenapa baru sekarang, dia mengenal Islam? 

 

Seiring waktu berjalan, Intan mulai menanggalkan pakaian sehari-harinya. Dia totalitas mengenakan pakaian taat di sekolah. Sementara Ani, memfasilitasi pakaian taat itu, dari teman-teman kajiannya. Dia siapkan semua untuk Intan. 

 

Seragam putih abu-abu, Pramuka hingga seragam olahraga, Ani sudah siapkan. Sehingga, Intan semakin berusaha bersungguh-sungguh hijrah.

Ujian tinggal beberapa hari. Intan juga tidak mau nilainya jeblok karena fokus dengan proses hijrahnya. Toh, semua dijalaninya dengan ikhlas dan ternyata berbuah kemudahan demi kemudahan.

 

Ujian sekolah dan pengumuman kelulusan selesai. Intan tetap getol mengkaji Islam. Tanpa disangka dan dia duga, ada ikhwan yang hendak ta’aruf dengannya. Peristiwa yang juga sangat mengejutkan Intan. Di usianya yang masih bau kencur, justru lamaran datang tiba-tiba.

 

Intan yang bercita-cita hendak melanjutkan kuliah pun seolah pupus. Intan sangat mengetahui bagaimana kondisi keluarganya. Ibunya yang seorang janda, membuat Intan berpikir seribu kali untuk pembiayaaannya. Bukan apa-apa, andaikan Intan bisa kuliah dengan beasiswa, dari mana ibunya bisa membayar terlebih dahulu sebelum beasiswa itu turun? Belum lagi biaya kos dan makan di tempat kuliah.

 

Intan dibesarkan dari keluarga tak mampu. Bapak dan Ibunya sudah bercerai semenjak Intan kelas enam SD. Adik satu-satunya waktu itu masih kelas dua SD. Jadilah Ibunya menjadi tulang punggung keluarga dan harus membanting tulang membiayai mereka berdua. 

 

Intan yang juga cekatan, di tengah kesibukannya latihan basket, dengan sigap pula, Intan membawa gorengan buatan ibunya dari rumah untuk dijual di beberapa warung. Uang dari hasil kejuaraan yang sudah dibagi oleh tim basket, kadang juga dia gunakan membayar SPP. Yah, begitulah kehidupan seorang anak yang tidak lagi dibiayai hidupnya oleh ayah kandungnya ..

 

Dengan banyak pertimbangan, Intan akhirnya menerima tawaran ta’aruf dengan ikhwan yang sudah diusulkan oleh Ani lewat gurunya. Sungguh di luar dugaan Intan, yang di-ta’aruf-kan Ani lewat guru ngajinya adalah Adriyan. 

 

Perkenalan mereka berlanjut ke ranah khitbah oleh keluarga Adriyan. Intan yang hidup tanpa berdampingan dengan Bapaknya, menerima khitbah Adriyan bersama pamannya (adik kandung Bapaknya). Kebetulan rumah mereka berdekatan.

 

Untuk mendapatkan restu dan perwalian, Intan tak pupus harapan. Dia bersama pamannya, berusaha mencari informasi keberadaan bapaknya. Setelah semua informasi didapat, termasuk sambungan telepon, Intan berusaha menghubungi bapaknya. 

 

Paman Intan yang sangat mengerti keponakannya itu, berusaha membantu untuk mempertemukan Intan dengan kakaknya, yaitu bapak kandung Intan. Jadilah keduanya melakukan perjalanan jauh ke Ibu Kota. Tekad yang kuat mengalahkan jarak tempuh yang sangat jauh tersebut. Antara dua belas hingga tiga belas jam perjalanan darat harus dilalui mereka.

 

“Tidak, aku tidak mau menikahkanmu,” kata Bapak Intan setelah mereka bertemu dan telah menjelaskan maksud kedatangan mereka.

 

“Kamu ini masih belia. Kerja dulu atau kamu ikut ayah di sini, kuliah di sini. Bapak akan biayai kamu,” kata Bapak Intan ketus.

 

“Bapak, aku bisa kuliah setelah aku menikah,” jawab Intan dengan tenang, untuk meyakinkan.

 

“Bohong kamu. Orang sudah menikah akan tersibukkan dengan suami dan anak-anak nanti. Lagian calon suamimu juga masih anak-anak. Mengerti apa dia tentang urusan mencukupi kebutuhan keluarga?” kata bapak Intan masih dengan nada ketus.

 

“Bapak, rizki itu sudah dijamin oleh Allah. Tidak akan salah alamat dan pasti akan diberikan kepada hambaNya. Calon suami saya, saat sekarang memang baru lulus SMA, tapi dia sudah bekerja semenjak masih duduk di kelas sebelas dulu. Dia mencari sampingan sebagai sopir, Bapak,” masih dengan tenang Intan menjawab.

Dia tidak mau Bapaknya bertambah marah dengan pekerjaan calon suaminya.

 

“Apa? Cuman sopir? Apalagi yang bisa dibanggakan Intan? Seberapa penghasilannya? Kamu mau diberi makan dari hasil kerjanya yang tidak pasti? Kamu tahu kehidupan yang keras begini, tanpa banyak uang hidup akan susah. Kamu ini masih muda, kamu bisa berkarier lebih dari sekarang. Keahlianmu sebagai pemain basket, bisa mendatangkan pundi-pundi uang, Nak. Ayolah, berfikir logika!” kata Bapak Intan lagi.

Masih dengan ketusnya dia meyakinkan pilihan Intan untuk menikah muda adalah salah besar.

 

Intan tertunduk, memang benar apa kata Bapaknya. Intan diam membeku dalam pikirannya sendiri. Tak kuasa lagi dia berkata apapun. 

 

“Sudahlah, Kang, tak perlulah Kakang ini mengolok calonnya Intan. Kita mawas diri saja, sudahkah kita ini juga menjadi suami yang baik?” kata Paman Intan menyela. 

 

“Kakang sendiri yang dulu banyak harta, tidak bisa menahan hawa nafsu karena perempuan cantik. Bahkan meninggalkan Mbakyu Pujiati dan anak-anak. Meninggalkan dengan tidak makruf pula. Masih mendingan apabila Kakang poligami dengan istri Kang Santoso yang sekarang. Eh, Kakang malah berzina. Maaf Kang, saya tidak hendak mengungkit masa lalu. Tapi setidaknya ini jadi pelajaran. Intan, Insyaallah, sudah belajar Islam, demikian juga calon suaminya, Adriyan. Sedikit banyak mereka mengenal tentang aturan Islam. Sehingga kita tinggal merestui mereka saja,” kata Paman Intan.

 

Bapak Intan, Pak Santoso menunduk mendengar ucapan adiknya. 

 

Sementara Intan diam larut dalam pikirannya. Batin Intan selalu memohon ampun kepada Allah SWT.

Astagfirullah astagfirullah astagfirullah.” Sesekali desis kecil dari mulut Intan keluar.

 

“Ya, Kang, nanti tanggal 16 Desember bulan depan, Kakang pulang. Nikahkan Intan dengan Adriyan,” kata Paman Intan.

 

“Entahlah, Di. Aku belum bisa menerima pernikahan anak-anak ini. Ini nikah dini. Negara juga tidak bisa memberi ijin atas ini,” kata Pak Santoso pelan tetapi tegas.

 

Intan semakin khawatir. Dadanya berdegup lebih kencang dan kuat. Sementara keringat mulai mengucur di pelipisnya. Intan pun akhirnya tak bisa menahan luapan air bening di ujung-ujung kelopak matanya. Semakin lama semakin deras membasahi pipinya.

 

“Bapak, Bapak sudah tahu bagaimana hukum jika seorang anak sudah waktunya menikah, sementara Bapak menghalanginya? Ayolah Bapak, mengertilah kondisi Intan!” pinta Intan dengan suara parau.

 

Intan dan pamannya tinggal beberapa hari di rumah Santoso. Namun restu tiada kunjung didapat. Jadilah mereka memutuskan untuk pulang dengan sejuta kecewa.

=================================

 

Enam belas Desember, hari itu tiba juga. Hari di mana keluarga Intan dan keluarga Adriyan sepakat untuk menetapkan ijab kabul mereka. Ada rasa khawatir besar di hati mereka, yaitu ketidakdatangan Santoso.

“Apakah aku melawan orang tuaku? Apakah aku berdosa pada Beliau?” 

Bantin Intan bergejolak di sepanjang waktu. Tapi sebuah keyakinan di benaknya, yaitu tidak ada pacaran dengan Adriyan. Intan hendak menikah semata menghindari dosa, untuk ibadah dan untuk kebaikan semua.

 

Benar saja, detik-detik menjelang ijab kabul, Santoso belum juga menampakkan batang hidungnya. Sementara petugas KUA sudah menunggu kedatangannya. 

 

 

“Jika bapakmu tidak datang, pernikahan ini tidak bisa terlaksana,” kata petugas pencatat nikah itu.

 

Intan kian khawatir dan gelisah. Dia yang sedari awal telah gugup, ditambah dengan ketidakhadiran bapaknya, sangat membuatnya gelisah. Keringat kembali mengucur di seluruh tubuhnya. Badannya yang ramping berbalut baju putih dengan manik-manik, tidak bisa menutupi kegelisahan yang luar biasa itu.

 

Intan yang bergidig mendengar perkataan penghulu dari balik tirai. Matanya mulai berkaca-kaca dan pandangan matanya seolah kabur.

 

“Bapak, datanglah!” ucap Intan lirih.

 

“Waktunya sudah molor hampir satu jam, saya tidak bisa menunggu lama lagi. Sementara ada calon pengantin lain menunggu. Aku tidak bisa mencatatnya, karena wali dari pengantin wanita tidak ada. Paman tidak ada kewenangan menggantikan, karena tidak ada surat kuasa dan akad perwakilan dari bapaknya pengantin wanita,” kata petugas KUA itu. 

 

Intan benar-benar shock dengan kata-kata itu. Sayup-sayup Intan mendengar Pamannya dan Adriyan berusaha menenangkan petugas KUA, meminta waktu sedikit diundur lagi.

 

“Bapak, datanglah, Pak. Atau teleponlah, Pak. Wakilkan pada Paman,” kata Intan masih dengan suara lirih. Dia hanya bisa pasrah dengan keadaan jika memang kemungkinan terburuk dia harus hadapi.

 

“Tenang dulu, Pak. Saya akan telepon Kang Santoso sekali lagi. Beri waktu barang lima belas menit lagi, Pak,” kata paman Intan memohon.

 

Assalamualaikum. Saya walinya, Pak Penghulu. Saya akan nikahkan anak perempuan saya,” suara Pak Santoso dari kejauhan terdengar lantang.

 

Perasaan Intan bagaikan meminum air di tengah padang pasir begitu suara sang bapak mampir di telinganya. Rasa tentram pun merayap di hatinya yang sejak semalam sudah cemas. Cairan hangat mengalir di ujung-ujung matanya yang indah. Perasaan haru merayap di relung dadanya. Tentram. Tangis pecah dalam pelukan ibunya.

 

Pernikahan Intan Nuraini dan Adriyan Saputra berjalan lancar. 16 Desember 2018, mereka resmi sebagai suami istri. Mereka menikah di usia yang masih belia, tapi insyaallah niatan menikah semata-mata karena kami taat kepada Allah.

 

Ngawi, 25 Desember 2018.

 

[AAH/LMN]

Please follow and like us:

Tentang Penulis