Skema China dalam Menjerat Utang Negara Ketiga

Oleh: Ummu Jemima

 

Lensa Media News – Tak ada kepastian yang jelas kapan pemadaman listrik akan berakhir di Sri Lanka, setelah pemerintah resmi menyatakan bahwa negaranya telah bangkrut. Sri Lanka telah berjuang selama berbulan-bulan melawan krisis ekonomi dan inflasi, hal tersebut disebabkan oleh pemerintah kehabisan uang asing untuk mengimpor barang-barang vital.

Habisnya devisa negera tersebut karena besarnya jumlah utang yang harus dibayarkan ke luar negeri, yaitu China. Diketahui bahwa, Sri Lanka adalah negara dengan jumlah utang tertinggi kepada China dan India. Utang luar negeri Sri Lanka per akhir 2021 adalah US$ 50,72 miliar. Jumlah ini sudah 60,85% dari Produk Domestik Bruto (PDB), CNBC (10/07/2022).

Memang benar saat ini China tengah menjadi negara kuat dengan mendominasi kerja sama di berbagai negara, namun bukan sekedar kerja sama saja, rupanya China menjerat negara-negara ketiga dengan “jebakan utang”, Sri Lanka adalah contoh kecil saja, karena sederat negara di benua Afrika pun terjerat utang. Hal yang sama terjadi pada negara Tajikistan, Pakistan, dan Libanon. Apa yang dilakukan oleh China adalah sebuah upaya untuk bisa menjerat negara-negara lainnya, khususnya negara ketiga untuk tunduk di pangkuannya. Selama ini China memposisikan sebagai negara adidaya yang ingin menguasai sektor perekonomian secara global, apalagi dengan menjerat negara ketiga yang saat ini mereka belum mandiri dalam membangun infrastruktur, dan mengolah sumber alam, namun kaya akan sumber daya alam. Tentu hal ini sebagai cara China mengamankan pendapatannya dan memperluas pengaruhnya di dunia.

Inilah skema licik yang dilancarkan China menjerat negara ketiga di antaranya sebagai berikut:

 

Menjalin Kerja Sama Atas Nama ” Jebakan Utang”

China adalah salah satu negara kreditor tunggal terbesar di dunia. Pemberian utang negara itu dikhususkan kepada negara berpenghasilan rendah dan menengah. Hal yang demikian itu meningkat tiga kali lipat selama satu dekade terakhir. Totalnya mencapai US$170 miliar atau sekitar Rp 2,446 triliyun pada akhir 2020. Berdasarkan hasil riset AidData, terdapat lebih dari 40 negara berpendapatan rendah dan menengah yang risiko utangnya kepada pemberi pinjam dark China lebih dari 10% dari total produk Domestik bruto (PDB) tahunan akibat dari “jebakan utang”.

Sebagian besar pinjaman dari China digunakan untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur besar seperti jalan, jalur kereta dan pelabuhan dan juga sektor di pertambangan dan energi, hal ini berdasarkan Prakarsa Sabuk dan Jalan yang diluncurkan oleh Presiden Xi Jinping. Yang jadi persoalannya adalah karena China menyalurkan pinjaman ke negara-negara lain, yang pada akhirnya jika tidak terlunasi harus melepas kontrol atas aset.

 

Menjerat Utang dengan Bunga Tinggi

China cenderung memberikan utang dengan bunga lebih tinggi dibanding pemerintah negara-negara Barat. Dipatok sekitar 4% bunga itu hampir sama dengan bunga untuk pasar komersial dan sekitar empat kali lebih tinggi dari bunga pinjaman biasa dari World Bank atau negara-negara Jerman dan Prancis. Periode pembayaran pinjaman dari China biasanya juga lebih pendek, kurang dari 10 tahun, sedangkan utang konsesi dari pihak-pihak lain kepada negara-negara berkembang biasanya sekitar 28 tahun.

 

Menjadikan Yuan sebagai Pembayaran Global

Kinerja kuat diperlihatkan oleh Yuan. Pada Januari lalu pangsa pembayaran global berbasis mata uang ini mencapai rekor tertinggi 3,2% naik dari 2,7% di bulan sebelumnya. Hal ini mendorong mata uang China mempertahankan tempat keempat dalam daftar perdagangan global. Yuan mengekor di belakang dolar AS, Euro, dan Poundsterling saat ekpor dan impor tumbuh, Yuan digunakan lebih sering dalam perdagangan internasional. Kebijakan China terus mengupayakan Yuang menjadi “juara”, melalui terobosannya Yuan semakin diminati dan digunakan dalam pembayaran internasional. Gubenur PBoC Yi Gang seperti yang dilansir oleh CNBC Indonesia 18/02/2022, mengatakan “China akan berusaha meningkatkan fleksibilitas mata uang Yuan, membiarkan nilai tukar berperan lebih besar sebagai penyeimbang dalam ekonomi makro serta neraca pembayaran internasional.

 

Utang Negara dalam Pandangan Islam

Dalam Islam haram hukumnya negara membangun kerja sama dengan negara lain yang didasari motif licik. Saat ini kita mengenal utang luar negeri di sistem sekarang, yaitu kapitalis adalah bentuk penjajahan gaya baru, yaitu untuk menancapkan pengaruhnya, dan kepentingan negara pemberi utang. Utang akan merusak kedaulatan dan martabat bangsa, sehingga utang sangat dihindari oleh negara Islam seperti hadist di bawah ini:

كُلُّ فَرْدٍ مِنْ أَفْرَادِ الْمُبَاحِ إِذَا أَوْ صَلَ إِلَى ضَرَر حَرَمَ ذَلِكَ الْفَرْدُ وَ بَقِيَ الشَّيْءُ مُبَاحًا

“Setiap bagian dari satuan-satuan sesuatu yang mubah, jika membawa pada bahaya, haram untuk satuan itu, sedangkan bagian sesuatu yang lainnya tetap mubah.”

Apalagi saat ini kerja sama terkait pemberian pinjaman/utang tidak bisa dilepaskan dari praktik riba, sehingga hutang piutang manjadi hatam hukumnya.

Wallahu’alam.

 

[LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis